Dubbaca Jataka

DUBBACA-JĀTAKA


“Terlalu berlebihan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang tidak patuh; Cerita pembukanya akan diberikan pada Buku Kesembilan, dalam Gijjha-Jātaka196.

Sang Guru menegurnya dengan kata-kata berikut ini, “Sama seperti sekarang, di kehidupan yang lampau engkau juga tidak patuh, Bhikkhu, tidak mengindahkan nasihat mereka yang bijaksana dan penuh kebaikan. Karenanya, engkau meninggal oleh sebatang tombak.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.”

____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga pemain akrobat. Setelah dewasa, ia tumbuh menjadi anak yang bijak dan pintar. Dari pemain akrobat yang lain, ia belajar tarian tombak, bersama gurunya ia melakukan perjalanan untuk mempertunjukkan keahliannya. Gurunya ini menguasai tarian dengan empat buah tombak, belum mencapai lima; suatu hari saat sedang mengadakan pertunjukan di sebuah desa, di bawah pengaruh minuman keras, ia menyusun lima tombak dalam satu baris, dan menyampaikan bahwa ia akan menari melewati tombak-tombak itu.

Bodhisatta berkata, “Engkau tidak mampu menangani seluruh tombak itu, Guru. Kurangilah satu, jika engkau mencoba kelimanya, engkau akan tiba di tombak kelima dan mati.”

“Engkau tidak tahu apa yang bisa saya lakukan jika saya mencobanya,” jawab orang mabuk itu, tidak mendengar pada kata-kata Bodhisatta. Ia menari melalui empat buah tombak hanya untuk menikamkan diri pada tombak kelima seperti Bunga Bassia di tangkainya. Di sana, ia berbaring sambil mengerang. Bodhisatta berkata, “Bencana ini terjadi karena engkau tidak mengindahkan nasihat ia yang bijaksana dan penuh kebaikan.” Dan ia mengucapkan syair berikut ini : —

[431] Terlalu berlebihan — walaupun kesakitan
berlawanan dengan kehendakku— engkau mencobanya;
melewati yang keempat, di tombak yang kelima
engkau meninggal.

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengangkat gurunya agar terlepas dari tombak tersebut dan memberikan pelayanan terakhir yang sepantasnya pada mayatnya.

____________________

Setelah kisah itu berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang tidak patuh ini adalah guru di masa itu, dan Saya adalah murid tersebut.”

Catatan kaki :

196 No.427.

Sigala Jataka

SIGĀLA-JĀTAKA


“Serigala mabuk itu,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Weluwana, mengenai Devadatta. Para bhikkhu berkumpul [425] di Balai Kebenaran dan bercerita tentang bagaimana Devadatta telah pergi ke Gayāsīsa bersama lima ratus orang pengikut, yang dituntunnya kepada ajaran yang salah dengan mengatakan bahwa Dhamma sebenarnya ada pada dirinya, “bukan pada Petapa Gotama”, dan bagaimana kebohongannya telah memecah belah Sanggha, serta bagaimana ia melaksanakan dua hari Uposatha dalam seminggu. Saat mereka duduk di sana membicarakan keburukan Devadatta, Sang Guru masuk ke dalam balai tersebut dan diberitahukan mengenai apa yang sedang mereka bicarakan. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “Devadatta adalah seorang pembohong besar di kehidupan yang lampau, sama seperti di kehidupan ini.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau berikut ini.

____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa pohon yang terdapat di sebuah pemakaman. Pada masa itu sebuah perayaan diumumkan di Benares, dan orang-orang memutuskan untuk memberikan persembahan kepada para yaksa. Maka mereka menyebarkan ikan dan daging di halaman-halaman rumah, di jalan-jalan dan tempat-tempat lainnya, serta menempatkan kendi-kendi yang berisi minuman keras. Di tengah malam, seekor serigala datang ke kota melalui selokan, dan menghibur diri dengan daging dan minuman keras itu. Merangkak ke dalam semak belukar, dengan cepat ia terlelap hingga fajar tiba. Bangun dan melihat hari telah pagi, ia tahu ia tidak bisa kembali dengan aman di waktu demikian. Maka ia berbaring tanpa suara di dekat pinggir jalan dimana ia tidak terlihat, sampai akhirnya ia melihat seorang brahmana (pengembara) yang sedang dalam perjalanan untuk mencuci muka di kolam. Serigala itu berpikir, “Para brahmana adalah orang yang serakah. Saya harus memanfaatkan keserakahannya untuk membuatnya mengeluarkan saya dari kota melalui kain pinggang di bawah jubah luarnya.” Maka, dengan suara manusia, ia berseru, “Brahmana.”

“Siapa yang memanggil saya?” tanya brahmana tersebut, sambil memutar tubuhnya. “Saya, Brahmana.” “Ada apa?” “Saya mempunyai dua ratus keping emas, Brahmana; jika engkau bersedia menyembunyikan saya di kain pinggang di bawah jubah luarmu dan membawa saya keluar dari kota tanpa terlihat, engkau akan mendapatkan semua emas itu.”

Sepakat dengan tawaran tersebut, brahmana yang serakah menyembunyikan serigala itu dan membawa hewan buas itu keluar dari kota. “Tempat apakah ini, Brahmana?” tanya serigala tersebut. “Oh, ini adalah tempat anu,” jawab brahmana itu. “Pergilah lebih jauh sedikit,” kata serigala itu, dan terus berdebat dengan brahmana itu, selalu memintanya berjalan lebih jauh sedikit, hingga akhirnya mereka tiba di tempat pemakaman. [426] “Turunkan saya di sini,” kata serigala; brahmana itu menuruti permintaannya. “Bentangkan jubahmu di tanah, brahmana.” Brahmana yang serakah itu melakukan hal tersebut.

“Sekarang gali pohon ini sampai pada bagian akarnya,” katanya, dan saat brahmana tersebut sedang bekerja, ia berjalan ke arah jubah itu, membuang kotoran disana dan merusaknya di lima tempat — di keempat sudut dan di bagian tengah. Setelah selesai, ia melarikan diri ke hutan.

Bodhisatta berdiri di cabang pohon, mengucapkan syair berikut ini : —

Serigala mabuk itu, Brahmana, menipu kepercayaan
yang engkau berikan!
Engkau tidak akan menemukan seratus kulit sapi,
apalagi keinginanmu akan dua ratus keping emas.

Setelah mengulangi syair ini, Bodhisatta berkata kepada brahmana tersebut, “Pergilah sekarang, cuci jubahmu dan mandi, lanjutkan perjalananmu.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia lenyap dari pandangan, dan brahmana itu melakukan apa yang dikatakan olehnya, ia pergi dengan malu karena telah diperdaya.

___________________

Uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah serigala di masa itu dan Saya adalah dewa pohon.”

Kundakapuva Jataka

KUṆḌAKAPŪVA-JĀTAKA


“Sebagai imbalan bagi pemujanya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Sawatthi, mengenai seorang lelaki yang sangat miskin.

Di Sawatthi, Sanggha dengan Buddha sebagai guru mereka selalu dijamu, kadang-kadang oleh satu keluarga tunggal, kadang-kadang oleh tiga atau empat keluarga sekaligus, atau oleh seseorang secara pribadi maupun penduduk satu jalan yang sama, dan kadang juga, satu kota secara bersama-sama menjamu mereka. Dalam kesempatan ini, penduduk dari satu jalan yang sama menunjukkan keramahan mereka. Para penduduk telah mengatur untuk menyediakan makanan utama dan makanan pendamping.

Di jalan itu, tingggallah seorang lelaki yang sangat miskin, seorang buruh upahan, yang tidak mampu memberikan bubur, namun memutuskan untuk memberikan kue. Ia mengumpulkan tepung merah dari sekam yang kosong dan mengadoninya dengan air membentuk kue yang bulat. Kue ini ia bungkus dengan sehelai daun rempah, dan ia panggang dalam bara api. Setelah selesai, ia memutuskan bahwa tidak ada orang lain selain Sang Buddha yang akan menerimanya, karenanya ia berdiri di dekat Sang Guru. Begitu diminta untuk mempersembahkan kue, ia segera maju, lebih cepat dibanding orang lain, dan meletakkan kuenya di patta Sang Guru. Sang Guru menolak semua kue lainnya dan makan kue yang diberikan oleh orang miskin itu. Setelah itu, seluruh kota hanya membicarakan bagaimana Yang Tercerahkan Sempurna tidak merasa terhina untuk makan kue dari kulit padi yang dipersembahkan oleh orang miskin itu. Mulai dari penjaga pintu hingga kaum bangsawan dan raja, semua tingkatan masyarakat berkumpul di sana, memberi hormat pada Sang Guru, dan mengerumuni orang miskin itu, menawarkan makanan, atau dua hingga lima ratus keping uang jika ia bersedia mengalihkan jasa perbuatannya kepada mereka.

Berpikir untuk menanyakannya terlebih dahulu kepada Sang Guru, ia menemui Beliau dan menyampaikan masalah itu. “Terima tawaran mereka,” kata Sang Guru, “dan hubungkan kebaikanmu kepada semua makhluk hidup.” Maka lelaki itu mulai mengumpulkan tawaran tersebut. Ada yang memberikan dua kali lipat dari yang lain, ada yang memberikan empat kali lipat, yang lain delapan kali lipat, dan seterusnya hingga sembilan puluh juta telah terkumpul.

Mengucapkan terima kasih atas keramahan itu, Sang Guru kembali ke wihara dan setelah memberikan petunjuk kepada para bhikkhu dan menanamkan ajaran-Nya yang mulia pada mereka, Beliau masuk ke dalam kamarnya yang wangi.

Di sore harinya, raja mengundang orang miskin itu menghadap dan mengangkatnya menjadi Bendaharawan.

Berkumpul di Balai Kebenaran, para bhikkhu membicarakan bagaimana Sang Guru, tidak menganggap remeh kue dari kulit padi yang diberikan orang miskin itu, telah menyantapnya seakan-akan itu adalah makanan para dewa, dan bagaimana lelaki miskin itu menjadi kaya [423] dan dijadikan Bendaharawan sebagai keberuntungan terbesarnya. Saat itu Sang Guru masuk ke dalam balai tersebut dan mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya saya tidak merasa terhina untuk makan kue dari kulit padi yang dipersembahkan oleh lelaki miskin itu. Saya melakukan hal yang sama saat saya merupakan dewa pohon, kemudian dengan cara itu juga menjadi Bendaharawan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah seorang dewa pohon yang menetap di pohon eraṇḍa193. Dan para penduduk di masa itu sangat percaya pada takhayul mengenai para dewa. Suatu perayaan akan dilangsungkan dan para penduduk mempersembahkan korban kepada dewa pohon yang mereka hormati. Melihat hal tersebut, seorang lelaki miskin juga menunjukkan pemujaan pada pohon eraṇḍa. Semua orang datang dengan membawa untaian bunga, wewangian dan kue-kue, namun lelaki miskin itu hanya mempunyai kue yang terbuat dari tepung sekam dan air dengan tempurung kelapa sebagai wadahnya untuk dipersembahkan kepada pohon ini. Berdiri di depan pohon, ia berpikir, “Dewa pohon terbiasa menyantap makanan surgawi, dan tidak akan makan kue yang terbuat dari tepung sekam ini. Kalau begitu, mengapa saya harus kehilangannya begitu saja? Akan saya makan sendiri saja.”

Maka ia berputar untuk meninggalkan tempat itu, ketika Bodhisatta berseru dari cabang pohon itu, “Orang yang baik, jika engkau adalah penguasa besar, engkau akan membawakan saya makanan pilihan; namun engkau adalah orang miskin, apa yang harus saya makan jika bukan kue itu? Jangan rampas bagian untuk saya.” Dan ia mengucapkan syair berikut ini : —

Sebagai imbalan bagi pemujanya,
seorang dewa akan makan (persembahannya).
Bawakan saya kue itu, jangan rampas bagian saya.

Kemudian lelaki itu berputar kembali, melihat Bodhisatta, dan memberikan persembahannya. Bodhisatta menyantap makanan itu dari rasanya, dan berkata, “Mengapa engkau memuja saya?” “Saya adalah orang miskin, dan saya memujamu untuk mengurangi kemiskinan saya.” [424] “Jangan mengkhawatirkan hal itu lagi. Engkau telah memberikan pengorbanan pada ia yang tahu berterima kasih dan penuh kesadaran atas perbuatan baik. Di sekeliling pohon ini, lajur demi lajur, terdapat pot harta yang terpendam. Pergi dan ceritakan kepada raja, dan bawa pergi harta itu dengan menggunakan kereta ke halaman istana. Di sana, tumpuklah harta tersebut dalam satu timbunan. Raja akan sangat gembira sehingga ia akan menjadikanmu sebagai Bendaharawan.” Setelah mengatakan hal tersebut, Bodhisatta menghilang dari pandangan. Lelaki itu melakukan apa yang diminta, dan raja menjadikannya sebagai Bendaharawan.

Demikianlah lelaki miskin itu dengan bantuan Bodhisatta mendapatkan berkah yang besar; dan setelah meninggal ia terlahir kembali ke alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.

____________________

Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Lelaki miskin saat ini adalah lelaki miskin di masa itu, dan saya adalah dewa pohon yang menetap di pohon eraṇḍa.”

Catatan kaki :

193 Terjemahan dari teks Inggris, “The castor oil plant”.

Cara Berpikir Buddhis dalam Menghadapi Masalah Hidup

Cara Berpikir Buddhis
dalam Menghadapi Masalah Hidup

Dalam pengertian Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha sejak hampir 3000 tahun yang lalu, segala kejadian yang dialami maupun dihadapi oleh seseorang sebenarnya adalah NETRAL sifatnya. Oleh karena itu, segala bentuk permasalahan hidup yang dirasakan oleh setiap orang sesungguhnya hanya timbul karena pikiran orang itu sendiri yang tidak tepat dalam menyikapi kenyataan yang dihadapinya. Segala kenyataan hidup adalah netral, tidak memberikan kebahagiaan maupun menyebabkan penderitaan untuk seseorang.

Ketika seseorang mampu berpikir positif dalam menghadapi suatu kenyataan atau peristiwa, ia akan merasakan kebahagiaan terhadap apapun kenyataan yang sedang ia alami. Sebaliknya, ketika seseorang berpikir negatif, ia akan merasakan penderitaan pada saat menghadapi suatu kenyataan. Dengan demikian telah jelas bahwa suatu kejadian yang dirasa membahagiakan seseorang mungkin saja menjadi sesuatu keadaan yang menyedihkan bagi orang lain. Semua perbedaan tersebut timbul karena sudut pandang yang tidak sama dalam menghadapi serta menyikapi suatu kenyataan hidup yang sebenarnya netral tersebut.

Terdapat sangat banyak contoh untuk menjelaskan perbedaan kebahagiaan maupun penderitaan yang timbul pada diri seseorang akibat sudut pandang yang tidak sama. Namun, agar lebih mudah dimengerti, dalam kesempatan ini hanya diberikan satu contoh saja. Contoh yang paling jelas dan sederhana misalnya tentang uang senilai Rp. 100.000,- Uang seratus ribu, untuk seseorang, katakanlah bernama A yang mempunyai banyak keinginan tentunya tidak bisa mencukupi untuk memenuhi harapannya. Sebaliknya, untuk seseorang, katakanlah bernama B yang mempunyai lebih sedikit keinginan, maka uang tersebut sudah terasa berlebihan. Dalam hal ini, permasalahan hidup atas kepemilikan uang senilai seratus ribu seolah hanya dialami oleh A dan tidak oleh B. Oleh karena itu, pembahasan penyelesaikan masalah yang akan disampaikan berikut ini nantinya hanya melibatkan A, bukan B.

Merenungkan kondisi yang disampaikan dalam contoh di atas, kiranya dapat dimengerti bahwa seseorang, dalam hal ini A, merasa memiliki masalah hidup karena sebenarnya ia tidak memiliki kemampuan mengubah kenyataan yang telah terjadi dan bersifat netral tersebut, dalam hal ini, nilai uang seratus ribu. Salah satu cara yang diberikan dalam Dhamma Ajaran Sang Buddha adalah upaya mengubah cara berpikir seseorang agar ia selalu berpikir positif dalam menghadapi segala sesuatu sehingga ia akan selalu berbahagia pada kondisi apapun yang ia alami. Dengan demikian, ia akan dapat mengambil tindakan yang tepat dan sesuai untuk menghadapi kenyataan tersebut. Semakin seseorang mampu menyesuaikan keinginan dengan kenyataan, semakin bahagia pula hidup yang ia rasakan.

Agar seseorang mampu berlatih mengubah pola pikir sehingga ia memiliki ketrampilan menyesuaikan diri antara harapan yang ada dengan kenyataan yang terjadi sehingga terwujudlah kebahagiaan, maka ia hendaknya :

Berusaha melatih kerelaan

Kerelaan (dana) adalah salah satu dari tiga pilar pokok Ajaran Sang Buddha di samping kemoralan (sila) dan konsentrasi (samadhi).

Pada tahap awal, kerelaan dilatih dengan menggunakan materi sebagai sarana. Misalnya, apabila ia memiliki makanan, ia dapat membagikan makanan tersebut kepada mereka yang membutuhkannya. Demikian pula apabila ia memiliki pakaian, sarana kesehatan dsb. Latihan kerelaan atau memberi kepada yang membutuhkan tersebut diharapkan menimbulkan kondisi batin untuk selalu mengharapkan fihak lain mendapat serta merasakan kebahagiaan.

Selama melaksanakan latihan kerelaan dengan materi, seseorang hendaknya juga melaksanakan latihan kerelaan dengan hal-hal yang bukan materi. Sebagian kecil contoh kerelaan akan hal yang bukan materi misalnya, perhatian, kasih sayang, nasehat, pemikiran positif dsb. Dengan melaksanakan latihan kerelaan akan hal yang bukan materi, seseorang semakin banyak dilatih untuk memperhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan fihak lain selain dirinya sendiri.

Dengan memikirkan kesejahteraan serta kebahagiaan fihak lain, maka seseorang mulai belajar merelakan keakuan atau kebutuhan memuaskan diri. Oleh karena itu, apabila keinginan yang juga merupakan hasil keakuan tidak terpuaskan, maka ia akan lebih mudah menyesuaikan harapan dengan kenyataan. Ia telah terbiasa rela. Ia lebih mudah menerima kenyataan sebagaimana adanya. Bila tahap ini tercapai, maka kebahagiaan akan selalu dapat dirasakan terlepas dari kenyataan apapun juga yang sedang ia hadapi maupun temui dalam kehidupannya.

Dalam mengembangkan proses berlatih kerelaan yang merupakan salah satu cara berpikir Buddhis untuk menghadapi masalah hidup, maka berikut ini akan disampaikan tiga hal yang perlu dilakukan sehingga kebahagiaan dapat terwujud.

1. Rela mengurangi keinginan
Ketika harapan ataupun keinginan tidak bisa menjadi kenyataan, maka seseorang hendaknya mulai meninjau dan mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan yang ia miliki selama ini. Ia hendaknya lebih mendahulukan kebutuhan daripada keinginan. Apabila kebutuhan sudah terpenuhi, barulah keinginan disusun berdasarkan tingkat kepentingannya untuk mendapatkan pemenuhan. Dengan mampu membedakan kebutuhan dan keinginan, tentu sudah cukup banyak masalah kehidupan yang dapat diselesaikan.

Sebagai contoh, A dengan uang senilai seratus ribu, mungkin hanya bisa memenuhi empat kebutuhan pokoknya terlebih dahulu, yaitu makanan, tempat tinggal, pakaian serta sarana kesehatan. Setelah semua atau sebagian dari kebutuhan pokok ini dapat terpenuhi, barulah ia memikirkan untuk memenuhi keinginannya, misalnya membeli handphone, memiliki sepeda motor dsb. Bila memang belum ada kesempatan untuk memenuhi keinginan, maka biarlah ia menunda terlebih dahulu keinginan yang ada dalam pikirannya. Inilah kerelaan mengurangi keinginan yang dapat mengurangi masalah hidup serta menumbuhkan kebahagiaan dengan apapun kenyataan yang dihadapi.

2. Rela meningkatkan kualitas kerja
Memiliki uang senilai seratus ribu mungkin saja dirasa tidak cukup, namun itulah kenyataannya. Karena itu, dengan meningkatkan kualitas kerja atau lebih giat bekerja, mungkin saja dalam beberapa waktu kemudian nilai uang tersebut dapat bertambah dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok serta sebagian keinginan yang dimiliki.

3. Rela menggunakan lebih banyak waktu untuk mencapai tujuan
Bila A merasa uang senilai seratus ribu itu tidak bisa memenuhi kebutuhan apalagi keinginannya, maka ia hendaknya belajar bersahabat dengan waktu sehingga seiring dengan bertambahnya waktu dan kerja keras yang dilakukan, uang yang diperoleh menjadi lebih banyak, pada akhirnya kebutuhan maupun sebagian keinginannya dapat terpenuhi.

4. Gabungan dari ketiga bentuk kerelaan di atas
Dengan menggabungkan ketiga bentuk kerelaan yaitu rela mengurangi keinginan, rela meningkatkan kualitas kerja dan rela bersabar, maka tentu lebih banyak lagi masalah hidup yang dapat terselesaikan sehingga kebahagiaan yang dimiliki lebih mudah dicapai.

Kiranya dengan penjelasan singkat di atas dapatlah menimbulkan pengertian untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga siapapun yang menggunakan pola pikir Buddhis seperti ini dapat lebih mudah menyelesaikan permasalahan hidup dengan hasil kebahagiaan sesuai harapan.

Semoga Anda semua selalu sehat, sukses dan berbahagia.

Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia.

Bahiya Jataka

BĀHIYA-JĀTAKA


“Belajarlah engkau dengan tepat,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika Beliau menetap di Kūṭāgārasālā 192 di Weluwana (Veḷuvana) dekat Vesāli, mengenai seorang Licchavi, seorang pangeran alim yang memeluk keyakinan ini. Ia mengundang Sanggha dengan Sang Buddha sebagai guru mereka ke rumahnya, dan di sana ia memberikan persembahan yang berlimpah pada mereka. Dan istrinya merupakan seorang wanita yang sangat gemuk dengan rupa yang membengkak, serta selera berpakaian yang jelek.

Berterima kasih atas persembahannya, Sang Guru kembali ke wihara dan setelah memberikan khotbah kepada para bhikkhu, Beliau masuk ke dalam kamarnya yang wangi.

Berkumpul bersama di Balai Kebenaran, para bhikkhu menunjukkan keterkejutan mereka bahwa seseorang seperti Pangeran Licchavi bisa mendapatkan seorang wanita gemuk dengan selera berpakaian yang buruk untuk menjadi istrinya, dan begitu mencintai wanita tersebut. Masuk ke Balai Kebenaran dan mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, seperti sekarang ini, demikian juga di kelahiran sebelumnya, ia mencintai wanita gemuk itu.” Kemudian, atas permohonan mereka, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

[421] Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai salah seorang anggota istana. Dan seorang wanita desa yang gemuk dengan selera berpakaian yang jelek, dan bekerja untuk mendapatkan upah, sedang lewat di dekat halaman istana, ketika kebutuhan yang mendesak datang padanya. Berjongkok dengan pakaiannya terkumpul secara sopan mengelilingi dirinya, ia menyelesaikan kebutuhannya itu, dan menanamnya dalam sekejab mata.

Pada saat yang sama, raja melihat keluar ke arah halaman istana melalui sebuah jendela, dan melihat kejadian itu. Ia berpikir, “Seorang wanita yang bisa mengatur hal demikian dengan begitu sopan pasti mempunyai kesehatan yang baik. Rumahnya pasti bersih; dan seorang anak yang lahir dalam sebuah rumah yang bersih, pasti akan tumbuh besar dengan sifat pembersih dan juga baik. Saya akan menjadikannya pendamping saya.” Karenanya, raja mula-mula memastikan sendiri bahwa wanita itu bukan milik pasangan orang lain, kemudian mengundangnya menghadap dan menjadikannya sebagai ratu. Dan wanita itu, menjadi orang yang sangat dekat dan sangat disayangi olehnya. Tak lama kemudian, seorang pangeran lahir, dan pangeran inilah yang menjadi raja yang menguasai dunia.

Melihat keberuntungan wanita itu, Bodhisatta mengambil kesempatan untuk berbicara dengan raja, “Paduka, mengapa perhatian tidak diberikan kepada yang memenuhi pandangan dengan keadaan yang semestinya, namun wanita yang hebat ini dengan kerendahan hati dan kesopanannya sewaktu membuang kotoran malah mendapatkan perhatian Paduka dan memperoleh keberuntungan setinggi ini?” Ia melanjutkan dengan mengucapkan syair berikut ini : —

Belajarlah engkau dengan tepat,
para Penduduk yang keras kepala ;
Orang kampung telah menyenangkan raja
melalui kesopanannya.

Demikianlah makhluk yang agung itu memuji kebaikan mereka yang mencurahkan diri untuk mempelajari kesopanan dengan sepantasnya.

____________________

[422] Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Suami istri di masa ini adalah suami istri di masa itu, dan Saya adalah anggota istana yang bijaksana tersebut.”

Catatan kaki :

192 Sebuah balai (ruangan) di Mahāvana. Lihat keterangan selengkapnya di Dictionary of Pali Proper Name, hal. 659. Arti harfiah dari kūṭāgāra adalah bangunan beratap runcing, bangunan bermenara, bangunan bertingkat.

Udancani Jataka

UDAÑCANI-JĀTAKA


“Hidup bahagia tadinya adalah milikku,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai godaan dari seorang gadis yang gemuk (atau kasar). Kejadian ini akan diceritakan dalam Culla-Nārada-Kassapa-Jātaka189 di Buku Ketiga Belas.

Saat menanyai bhikkhu tersebut, Sang Buddha mendapat pengakuan darinya bahwa benar ia sedang jatuh cinta, dan mencintai gadis gemuk itu. “Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ia akan menyesatkan dirimu. Demikian juga di masa yang lampau ia membuat engkau menjadi jahat, dan engkau dipulihkan hingga dapat merasa bahagia kembali oleh ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kehidupan yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

__________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, terjadilah hal-hal seperti yang diceritakan dalam Culla-Nārada-Kassapa-Jātaka. Namun dalam kesempatan ini, Bodhisatta tiba di sore hari dengan membawa buah-buahan di tempat pertapaannya, membuka pintu dan berkata kepada putranya, “Di hari-hari biasa, engkau selalu membawakan kayu dan makanan, serta menyalakan perapian. Mengapa hari ini engkau tidak melakukan satu pun dari hal tersebut di atas, melainkan duduk termenung disini dengan menyedihkan?”

“Ayah,” kata anak muda itu, “ketika engkau pergi mengumpulkan buah-buahan, seorang gadis datang kemari, yang mencoba memikat saya dengan rayuan. Namun, saya tidak akan pergi sebelum berpamitan denganmu, jadi saya membuatnya pergi ke sana, duduk menunggu kedatanganku. Sekarang saya berharap untuk bisa pergi.”

Melihat anaknya terlalu kasmaran untuk bisa melepaskan gadis itu, Bodhisatta mengizinkannya pergi, berkata, “Saat ia menginginkan daging [417], ikan, biji-bijian, garam atau beras, maupun hal-hal lainnya untuk dimakannya, dan membuat engkau ke sana kemari atas perintahnya, ingatlah pada pertapaan ini dan kembalilah kemari.”

Maka anak tersebut pergi bersama gadis itu ke tempat tinggal penduduk; setibanya di rumah, gadis itu membuat anak muda tersebut berlari ke sana kemari untuk mengambilkan semua barang yang ia inginkan.

“Saya lebih seperti budaknya jika begini,” pikirnya, dan segera kembali ke tempat ayahnya, memberi hormat padanya, berdiri dan mengulangi syair berikut ini: —

Hidup bahagia tadinya adalah milikku,
hingga aku jatuh cinta padanya,
— Kendi yang mengkhawatirkan dan menjemukan,
istriku — membuat saya menjalankan perintahnya
dengan berlari ke sana kemari.

Bodhisatta memuji anak muda tersebut, menasihatinya untuk berbaik hati dan bermurah hati, mengajarinya mengembangkan empat kediaman luhur dan cara-cara meditasi. Tak lama kemudian, anak muda itu telah memperoleh kesaktian dan pencapaian meditasi, dan tanpa terputus dari keadaan baik tersebut, bersama ayahnya, ia terlahir kembali di alam brahma.

____________________

Setelah uraian tersebut berakhir, dan Empat Kebenaran Mulia telah dibabarkan (di akhir khotbah, bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna), Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Gadis gemuk di saat ini merupakan gadis gemuk di masa itu; bhikkhu muda ini adalah anak tersebut dan Saya sendiri adalah sang ayah di masa itu.”

Dubbalakattha Jataka

DUBBALAKAṬṬHA-JĀTAKA


“Takutkah engkau pada angin,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang tinggal dalam keadaan gelisah secara terus menerus. Dikatakan bahwa ia berasal dari keluarga terpandang di Sawatthi, dan ia meninggalkan keduniawian setelah mendengarkan pembabaran Dhamma, ia selalu merasa gelisah akan hidupnya, baik siang maupun malam. Bunyi desiran angin, desauan kipas, atau suara burung maupun hewan buas akan membuatnya membayangkan sesuatu yang mengerikan sehingga ia akan menjerit dan berlari pergi. Ia tidak pernah menyadari bahwa kematian pasti akan dialami olehnya; walaupun ia telah melatih meditasi dengan objek kematian, ia tidak pernah bisa menghadapinya. [415] Karena hanya mereka, yang tidak melakukan meditasi, yang takut pada kematian.

Sekarang, ketakutannya akan kematian diketahui oleh para bhikkhu, dan suatu hari mereka berkumpul di Balai Kebenaran, membahas ketakutannya, dan ketenangan para bhikkhu yang mengambil kematian sebagai objek meditasi. Masuk ke dalam Balai Kebenaran, Sang Guru bertanya dan diberitahukan apa yang sedang mereka bicarakan. Maka Beliau meminta bhikkhu tersebut datang dan bertanya kepadanya apakah benar ia hidup dalam ketakutan akan kematian. Bhikkhu tersebut mengakuinya. “Jangan marah, para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “dengan bhikkhu ini. Ketakutan yang memenuhi dirinya saat ini tidak kalah kuatnya dibanding dengan ketakutannya di kehidupan yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

___________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah seorang dewa pohon di dekat Pegunungan Himalaya. Pada masa itu raja menempatkan gajah istana di tangan pelatih gajah untuk dilatih berdiri dengan tegak. Mereka mengikat gajah itu dengan kuat di sebuah tonggak, dengan tongkat di tangan, mereka melatih gajah itu. Tidak mampu menahan rasa sakit sewaktu dipaksa melakukan perintah mereka, gajah tersebut mematahkan tonggak tersebut, membuat para pelatihnya melarikan diri, sementara ia sendiri melarikan diri ke Pegunungan Himalaya. Orang-orang tersebut, tidak bisa menangkapnya, kembali dengan tangan kosong. Gajah tersebut hidup di Himalaya, selalu merasa takut pada kematian. Satu tiupan angin sudah cukup untuk membuat ia ketakutan dan berlari pergi dengan kecepatan penuh, menggoyangkan belalainya ke sana kemari. Perasaan ini selalu mengikutinya, seakan ia masih terikat di tonggak itu untuk dilatih. Semua kebahagiaan lahir dan batin telah lenyap darinya, ia berkeliaran ke mana-mana dengan penuh ketakutan. Melihat hal itu, dewa pohon itu berdiri di cabang pohonnya dan mengucapkan syair berikut ini: —

Takutkah engkau pada angin yang tiada henti
memukul batang-batang rusak hingga pecah?
Ketakutan seperti itu akan cukup membinasakanmu!

[416] Demikianlah kata-kata dewa pohon yang membuatnya menjadi tenang. Sejak itu, gajah tersebut tidak merasa takut lagi.

___________________

Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru mengajarkan Empat Kebenaran Mulia (di akhir khotbah, bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna), dan menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu ini adalah gajah di masa itu, dan Saya adalah dewa pohon itu.”

Pannika Jataka

PAṆṆIKA-JĀTAKA


“Ia yang seharusnya memberikan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang upasaka penjual sayuran di Sawatthi, yang memperoleh nafkah dengan menjual bermacam-macam akar tanaman dan sayuran, labu dan sejenisnya. Ia mempunyai seorang putri yang baik, suci, dan cantik, namun ia selalu tertawa. Saat ia dilamar untuk menikah oleh sebuah keluarga dengan lingkungan yang sama, ayahnya berpikir, “Ia harus menikah, namun ia selalu tertawa; dan seorang gadis yang tidak baik dinikahkan ke dalam sebuah keluarga yang asing akan membuat malu orang tua gadis tersebut. Saya harus memastikan apakah ia gadis yang baik atau bukan.”

Maka suatu hari ia meminta putrinya membawa sebuah keranjang dan ikut bersamanya ke hutan untuk mencari tanaman (herba). Untuk menguji putrinya, ia menggandeng tangan anaknya sambil membisikkan kata-kata cinta. Gadis itu langsung meledak dalam tangisan dan mulai berseru bahwa hal seperti itu sangat mengerikan seperti api yang menyala di atas air, dan memohon ayahnya untuk menahan diri. Ayahnya mengatakan bahwa ia hanya bermaksud untuk mengujinya, dan mencari tahu apakah ia masih suci. Gadis itu menyatakan bahwa ia masih suci dan ia tidak pernah menatap pria (lain) dengan tatapan penuh cinta. Setelah menenangkan putrinya yang ketakutan, ia pun membawanya pulang ke rumah, dan menyelenggarakan jamuan makan serta menikahkan putrinya. Kemudian ia merasa ingin pergi untuk memberi hormat pada Sang Guru; ia membawa wewangian dan untaian bunga di tangan dan pergi ke Jetawana. Setelah selesai memberikan penghormatan dan persembahan, ia mengambil tempat duduk di dekat Sang Guru, yang memperhatikan bahwa telah lama ia absen sejak kedatangannya yang terakhir. Lelaki itu kemudian menceritakan seluruh kejadian itu kepada Sang Bhagawan.

“Ia selalu merupakan gadis yang baik,” kata Sang Guru. “Engkau mengujinya di saat ini sama seperti yang engkau lakukan di kehidupan yang lampau.” Kemudian, atas permohonan penjual sayuran itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares [412], Bodhisatta terlahir sebagai dewa pohon di sebuah hutan. Seorang upasaka penjual sayuran di Benares meragukan putrinya dengan cara yang sama, dan semuanya terjadi sama seperti pada cerita pembuka di atas. Saat ayahnya menggenggam tangannya, gadis yang menangis itu mengulangi syair berikut ini: —

Ia yang seharusnya memberikan perlindungan bagiku,
ayahku, melakukan perbuatan salah ini kepadaku;
Di dalam hutan lebat ini saya sedih dan menangis,
pelindungku ternyata menjadi musuhku sendiri.

Kemudian ayahnya menenangkan rasa takutnya, dan bertanya apakah ia masih suci. Setelah ia mengatakan ia masih suci, kemudian ayahnya membawanya pulang ke rumah dan mengadakan jamuan makan untuk menikahkan gadis tersebut.

____________________

Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru membabarkan Empat Kebenaran Mulia dan pada akhir khotbah, penjual sayuran itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Kemudian Beliau menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Ayah dan anak di masa ini merupakan ayah dan anak dalam kisah tersebut, dan saya adalah dewa pohon yang menjadi saksi kejadian tersebut.”

Asatarupa Jataka

ASĀTARŪPA-JĀTAKA


“Dalam samaran kegembiraan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Kuṇḍadhānavana dekat Kota Kuṇḍiya mengenai Suppavāsā, seorang upasika yang merupakan putri dari Raja Koliya. Pada saat itu, ia mengandung seorang anak selama tujuh tahun dalam kandungannya, selama tujuh hari waktu persalinannya disiksa oleh rasa sakit akan melahirkan, penderitaannya sangat memilukan hati. Diluar penderitaannya, ia berpikir sebagai berikut, “Bhagawan, Yang Tercerahkan Sempurna, membabarkan Dhamma sehingga akhirnya penderitaan ini mungkin akan terhenti; Kebajikan adalah sifat utama Sang Bhagawan yang dijalankan-Nya, sehingga akhirnya penderitaan ini mungkin dapat berhenti; Terberkahi adalah nibbana, di saat penderitaan seperti ini bisa terhenti.” Ketiga pemikiran ini merupakan penghiburan baginya dalam kesakitannya. Dan ia mengirim suaminya menemui Sang Buddha untuk menyampaikan keadaannya dan untuk menyampaikan sebuah salam darinya.

Pesannya disampaikan kepada Sang Bhagawan, yang berkata, [408] “Semoga Suppavāsā, putri Raja Koliya, menjadi sehat dan kuat kembali, dan melahirkan seorang bayi yang sehat.” Dengan kata-kata dari Sang Bhagawan, Suppavāsā, putri Raja Koliya, menjadi sehat dan kuat, dan melahirkan seorang bayi yang sehat. Saat kembali, suaminya mendapatkan istrinya telah melahirkan dengan selamat, suaminya menjadi kagum dengan kekuatan yang agung dari Sang Buddha. Setelah anaknya lahir, Suppavāsā sangat ingin mempersembahkan hadiah selama tujuh hari kepada para bhikkhu dengan Buddha sebagai guru mereka, dan mengirim suaminya lagi untuk mengundang mereka. Pada waktu yang sama, Sanggha dengan Buddha sebagai pemimpin mereka telah menerima undangan dari seorang umat awam yang menyokong Thera Moggallāna Yang Agung; namun, Sang Guru, yang ingin memenuhi permintaan Suppavāsā dalam memberikan dana (makanan), mengutus sang thera untuk menjelaskan masalah tersebut, dan bersama Sanggha menerima undangan makan dari Suppavāsā selama tujuh hari. Pada hari ketujuh ia mendandani bayi kecilnya, yang bernama Sīvali, dan membuat putranya membungkuk di depan Buddha dan Sanggha. Saat bayi itu dibawa untuk melakukan hal yang sama pada Sāriputta, thera itu dengan penuh keramahan menyapa bayi tersebut, berkata, “Baiklah, Sīvali, apakah engkau sehat-sehat saja?” “Bagaimana mungkin, Bhante?” jawab bayi itu. “Selama tujuh tahun yang panjang saya harus bermandikan darah.”

Dengan gembira Suppavāsā berseru, “Anakku, yang hanya berusia tujuh hari, berbincang-bincang mengenai keyakinan dengan Thera Sāriputta, sang Panglima Dhamma!”

“Maukah engkau memiliki anak lagi yang seperti ini?” tanya Sang Guru. “Mau, Bhante,” jawab Suppavāsā, “tujuh anak lagi, jika saya bisa mendapatkan anak yang seperti ini.” Dengan kata-kata yang khidmat Sang Guru mengucapkan terima kasih atas keramahan Suppavāsā dan pergi dari sana.

Pada usia tujuh tahun Sīvali menyerahkan diri pada ajaran Buddha, dan meninggalkan keduniawian untuk bergabung dalam Sanggha; pada usia dua puluh tahun ia telah menjadi bhikkhu. Ia penuh dengan kebaikan dan mendapatkan berkah kebaikan berupa tingkat kesucian Arahat, bumi bersorak dalam kebahagiaan.

Suatu hari, para bhikkhu berkumpul di Balai Kebenaran membicarakan hal tersebut, berkata, “Thera Sīvali, yang sekarang begitu bersinar, adalah seorang anak yang sering didoakan; selama tujuh tahun ia berada dalam kandungan dan proses kelahirannya memakan waktu tujuh hari. Betapa hebatnya rasa sakit yang dialami oleh ibu dan anak itu! Karena melakukan apakah mereka mengalami penderitaan seperti itu?”

Masuk ke dalam balai itu, Sang Guru menanyakan topik pembicaraan mereka. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “Sīvali yang penuh kebaikan [409] dikandung selama tujuh tahun dan proses kelahirannya berlangsung selama tujuh hari lamanya adalah karena perbuatannya sendiri di kehidupan yang lampau.

Demikian juga dengan Suppavāsā yang mengandung selama tujuh tahun dan melahirkan setelah tujuh hari adalah akibat perbuatannya sendiri di kehidupan yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah putra mahkota, ia tumbuh dewasa dan mendapat pendidikan di Takkasilā, dan setelah ayahnya meninggal ia menjadi seorang raja dan memerintah dengan penuh keadilan. Pada masa itu, Raja Kosala datang dengan kekuatan yang hebat untuk berperang dengan Benares, dan membunuh raja serta mengambil Ratu Benares menjadi istrinya.

Saat raja dibunuh, putranya melarikan diri melalui selokan. Setelah itu ia mengumpulkan kekuatan yang besar dan datang ke Benares. Berkemah di dekat sana, ia mengirim pesan kepada raja untuk menyerahkan kerajaannya atau berperang. Raja mengirim jawaban bahwa ia memilih berperang. Namun ibu pangeran muda ini, mengetahui hal tersebut, mengirim pesan kepada anaknya, yang mengatakan, “Tidak perlu melakukan peperangan. Biarlah setiap jalan masuk ke kota di setiap sisi diberi pengawasan dan diberi penghalang, sehingga mereka kehabisan kayu bakar, air dan makanan, membuat orang-orang lemas. Setelah itu kota akan jatuh ke tanganmu tanpa perlu melakukan peperangan.” Mengikuti nasihat ibunya, selama tujuh hari pangeran tersebut mengawasi kota dengan ketat melalui blokade, hingga akhirnya pada hari ketujuh para penduduk memenggal kepala raja dan membawakannya untuk pangeran tersebut. Kemudian ia memasuki kota dan menjadikan dirinya sebagai raja. Setelah meninggal dunia ia terlahir kembali ke alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.

____________________

Hasil dan akibat tindakannya memblokir kota selama tujuh hari adalah selama tujuh tahun ia berada dalam kandungan, dan proses kelahirannya berlangsung selama tujuh hari. Namun, karena ia bersujud di kaki Buddha Padumuttara dan memberikan sejumlah persembahan (dana) dengan tekad untuk menjadi seorang Arahat, ia pun mendapatkan berkah mencapai tingkat kesucian Arahat; dan karena di masa Buddha Vipassī, ia memberikan sejumlah persembahan dengan tekad yang sama, bersama para penduduk kota, mempersembahkan dana yang amat bernilai;— [410] karenanya, atas kebaikannya, ia mendapatkan berkah mencapai tingkat kesucian Arahat. Dan karena Suppavāsā yang mengirim pesan meminta anaknya mengambil alih kota melalui blokade, mendapatkan balasan dengan mengandung selama tujuh tahun dan melahirkan setelah tujuh hari.

Uraian-Nya berakhir, Sang Guru, sebagai seorang Buddha, mengulangi syair berikut ini:

Dalam samaran kegembiraan dan kesenangan,
penderitaan muncul dan menggoyahkan batin untuk
menguasai diri orang-orang yang lengah.

Setelah memberikan pelajaran ini, Sang Guru menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Sīvali adalah pangeran yang waktu itu memblokir kota dan menjadi raja; Suppavāsā adalah ibunya, dan Saya adalah ayahnya, Raja Benares.”

Kutavanija Jataka

KŪṬAVĀṆIJA-JĀTAKA


[404] “Paṇḍita benar, Atipaṇḍita yang salah,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang pedagang penipu. Terdapat dua orang pedagang yang bekerja sama di Sawatthi, diceritakan kepada kami, mereka melakukan perjalanan dengan membawa barang dagangan dan pulang dengan membawa hasil penjualan. Pedagang penipu itu berpikir, “Rekan saya telah makan dengan buruk dan tinggal dengan kondisi yang tidak nyaman beberapa hari yang lalu, sehingga ia akan mati karena masalah pencernaan, sesampainya di rumahnya kembali ia dapat menyenangkan diri sepuas hati dengan berbagai makanan pilihan. Rencana saya adalah membagi hasil penjualan menjadi tiga bagian, memberi satu bagian untuk anak yatimnya, dan dua bagian lainnya untuk diriku sendiri.” Dengan alasan itu ia membuat alasan untuk menunda pembagian keuntungan.

Melihat kegagalannya mendesak pembagian tersebut, rekan yang jujur itu menemui Sang Guru di wihara, memberikan penghormatan dan disambut dengan ramah. “Sudah sangat lama,” kata Sang Buddha, “sejak terakhir kali engkau mengunjungi saya.” Dan saudagar tersebut menceritakan kepada Sang Guru apa yang menimpa dirinya.

“Ini bukan pertama kalinya, Upasaka,” kata Sang Guru, “orang ini menipu para pedagang; ia juga melakukan penipuan di kehidupan yang lampau. Seperti ia mencoba menipumu sekarang, ia juga mencoba menipu ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di masa itu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, atas permohonan pedagang jujur tersebut, Sang Guru menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga pedagang, dan pada hari pemberian nama, ia diberi nama Paṇḍita (Bijak). Setelah dewasa, ia menjalin kerjasama dengan saudagar lainnya yang bernama Atipaṇḍita (Terlalu Bijak), dan berdagang bersamanya. Mereka berdua membawa lima ratus buah kereta berisikan barang dagangan dari Benares menuju daerah pedesaan. Setelah menjual barang-barang tersebut, mereka kembali dengan membawa hasil penjualan itu. Saat waktu pembagian tiba, Atipaṇḍita berkata, “Saya harus mendapatkan dua bagian.” “Mengapa demikian?” tanya Paṇḍita. “Karena kamu hanya ‘Bijaksana’, sementara saya ‘Terlalu Bijak’. Karena itu ‘Bijak’ hanya mendapat satu bagian, ‘Terlalu Bijak’ mendapat dua bagian.” “Namun kita berdua mempunyai bagian yang sama dalam persediaan barang dagangan dan juga dalam sapi serta kereta. Mengapa engkau harus mendapat dua bagian ?” “Karena saya Terlalu Bijak.” Demikianlah mereka saling berbalas kata hingga akhirnya mempertengkarkan hal tersebut.

“Ah!” pikir Atipaṇḍita, “saya ada rencana.” Ia membuat ayahnya bersembunyi [405] dalam sebuah lubang di pohon, memerintahkan agar orang tua itu berkata, pada saat mereka berdua datang, “Atipaṇḍita harus mendapat dua bagian.” Setelah mengatur hal itu, ia mencari Bodhisatta dan mengusulkan padanya untuk menyerahkan tuntutan dua bagian itu kepada dewa pohon yang cakap dalam mengambil keputusan. Ia membuat permohonan dengan kata-kata berikut : “Dewa Pohon, buatlah keputusan untuk masalah kami!” Saat itu, sang ayah yang bersembunyi di dalam pohon, mengubah suaranya, meminta mereka mengatakan permasalahan mereka. Penipu itu berkata, “Tuan, di sini berdiri Paṇḍita, dan di sini berdiri saya, Atipaṇḍita. Kami adalah rekan usaha. Beri tahukanlah bagian yang pantas diterima masing-masing dari kami.”

“Paṇḍita menerima satu bagian dan Atipaṇḍita menerima dua bagian,” jawabnya.

Mendengar keputusan ini, Bodhisatta memutuskan untuk melihat apakah itu benar-benar dewa pohon atau bukan. Ia mengisi lubang pohon itu dengan jerami dan menyalakan api. Dan ayah Atipaṇḍita yang setengah terbakar itu memanjat keluar dengan mencengkeram sebuah cabang pohon. Jatuh ke tanah, ia mengucapkan syair berikut ini : —

Paṇḍita benar, Atipaṇḍita yang salah;
Dikarenakan Atipaṇḍita, saya terbakar parah
dalam kobaran api.

Kemudian kedua orang itu membagi dua sama rata hasil penjualan mereka, dan masing-masing mendapatkan satu bagian. Setelah meninggal dunia mereka terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatan mereka.

____________________

“Demikianlah telah engkau lihat,” kata Sang Guru, “bahwa rekanmu adalah seorang penipu besar di kehidupan yang lampau, sama seperti saat ini.” Setelah mengakhiri cerita tersebut, Beliau menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Pedagang penipu di kelahiran ini juga merupakan pedagang penipu dalam cerita di atas, dan saya adalah pedagang jujur yang bernama Paṇḍita.”

Pohon Masalah

Seorang teknisi komputer yang saya pesan untuk memperbaiki PC di rumah datang terlambat. Katanya, di tengah jalan ban mobilnya kempes. Ketika sedang memperbaiki komputer, listrik PLN mati ada pemadaman sementara. Akibat berbagai masalah tadi, ia kehilangan waktu kerjanya beberapa jam. Rupanya penderitaannya tak hanya berhenti di sini. Persis saat mau pulang, mendadak mesin mobilnya ogah distart dan mogok.

Agar tidak kemalaman, saya mengantarkannya pulang. Dalam perjalanan ia tampak termenung sedih atas kesialan yang bertubi-tubi menimpanya hari itu. Sesampainya di depan rumahnya, tiba-tiba ia berhenti sebentar di depan sebuah pohon kecil yang tumbuh di halaman depan. Ia menyentuh ujung- ujung cabang pohon itu dengan kedua tangannya. Setelah itu, raut mukanya menampakkan perubahan besar. Begitu pintu rumah terbuka, wajah yang semual lesu kusam itu mendadak penuh senyuman.

Dengan riang dan hangat ia memeluk kedua anaknya serta mencium sang istri yang menyambutnya. Karena penasaran, sebelum berpamitan saya bertanya apa yang dia lakukan dengan pohon tersebut? “Oh, itu adalah pohon masalah saya,” jawabnya. Menyadari lawan bicaranya kebingungan, pria ini melanjutkan bicara. “Saya sadar, ada banyak persoalan muncul dalam pekerjaan dan dalam kehidupan pribadi ini. Namun, yang pasti segala permasalahan itu bukan milik orang rumah, baik anak, istri maupun orang-orang yang saya cintai.

Itulah sebabnya, sore hari setiap pulang dari kantor, sebelum masuk rumah saya selalu menaruh semua masalah atau problem pekerjaan di pohon ini. Keesokan harinya, saya ambil untuk di bawa ke kantor lagi.” “Anehnya”, lanjutnya sambil tersenyum, “di pagi hari ketika saya ambil lagi masalah-masalah tersebut dari pohon, rasanya tidak lagi seberat ketika saya taruh kemarin sore, atau bahkan sudah hilang.” 

Tidak ada Ajahn Chah | Kelahiran dan Kematian

Kumpulan Kata2 Bijak Y.A. Ajahn Chah mengenai Kelahiran dan Kematian:

1. Latihan yang baik adalah : bertanya kepada diri Anda sendiri dengan sungguh-sungguh, “Mengapa saya dilahirkan?” Tanyakan diri Anda sendiri dengan pertanyaan ini pada pagi hari,siang hari, dan malam hari....... setiap hari.



2. Kelahiran dan kematian kita adalah satu hal. Anda tidak bisa mendapatkan yang satu tanpa yang lainnya. Terlihat agak lucu; bagaimana pada saat ada kematian, orang-orang menangis dan sedih; sedangkan pada saat ada kelahiran, orang-orang gembira dan senang. Itu hanyalah khayalan. Saya rasa jika Anda benar-benar ingin menangis, lebih baik melakukannya pada saat seseorang dilahirkan. Menangislah pada awalnya, karena bila tidak ada kelahiran, maka tidak akan ada kematian. Apakah Anda bisa mengerti hal ini?

3. Anda akan berpikir bahwa : orang mengerti apa yg akan terjadi jika hidup di dalam kandungan seseorang? Betapa tidak nyaman! Bayangkan saja, bila diam di dalam gubuk hanya sehari saja, rasanya sudah sulit. Kunci semua pintu dan jendela, Anda sudah merasa tertekan. Jadi bagaimana rasanya tinggal di dalam kandungan seseorang, selama sembilan bulan? Tapi Anda tetap mau dilahirkan kembali! Anda tahu ketidak-nyamannya dalam kandungan, dan Anda masih mau menempelkan kepala di sana, untuk menaruh leher Anda di dalam jerat itu sekali lagi.

4. Mengapa kita dilahirkan? Kita dilahirkan agar kita tidak akan dilahirkan kembali.

5. Ketika seseorang tidak mengerti tentang kematian, hidup dapat menjadi sangat membingungkan.

6. Sang Buddha memberitahukan muridnya, Ananda, untuk melihat ketidak-kekalan, untuk melihat kematian dalam setiap nafas. Kita harus memahami kematian; kita harus mati agar dapat hidup. Apa artinya ini? Mati adalah jalan menuju akhir dari semua keraguan, semua pertanyaan kita, dan ada di sini dengan kenyataan saat ini. Anda tidak akan pernah mati besok. Anda harus mati sekarang. Dapatkah Anda melakukannya? Bila Anda dapat melakukannya, Anda akan tahu kedamaian tanpa pertanyaan lagi.


7. Kematian itu sedekat nafas kita.

8. Kalau Anda telah terlatih dengan benar, Anda tidak akan merasa ketakutan ketika jatuh sakit, juga tidak sedih jika seseorang meninggal. Ketika Anda pergi ke rumah sakit untuk menjalani perawatan, tanamkan di dalam pikiran jika Anda menjadi lebih sehat, itu bagus; dan jika Anda meninggal, itu juga bagus. Saya menjamin Anda, bahwa bila dokter berkata kepada saya, bahwa saya mengidap kanker dan akan mati beberapa bulan lagi, saya akan mengingatkan dokter itu, “Hati-hati, karena kematian juga akan datang menjemputmu. Ini hanya masalah siapa yang pergi duluan dan siapa yang pergi belakangan.” Dokter tidak dapat menyembuhkan kematian dan tidak dapat mencegah kematian. Hanya Buddha yang dapat disebut dokter, jadi kenapa tidak pergi dan menggunakan obat dari Buddha?

9. Jika Anda takut sakit, jika Anda takut mati, sebaiknya Anda merenungkan : dari mana mereka berasal. Dari mana mereka datang? Mereka muncul dari kelahiran. Jadi jangan sedih bila seseorang meninggal. Itu adalah hal yang alami, dan penderitaanya dalam kehidupan ini berakhir. Jika Anda mau bersedih, bersedihlah pada saat orang dilahirkan: “Oh tidak, mereka datang lagi. Mereka akan menderita dan mati lagi!”

10. “Dia yang mengetahui” dengan jelas tahu bahwa semua keadaan yang berkondisi adalah tidak kekal. Jadi “Dia yang mengetahui” tidak akan menjadi senang atau sedih, karena tidak mengikuti perubahan kondisi. Untuk menjadi senang, adalah untuk dilahirkan; untuk menjadi kesal, adalah untuk mati. Setelah mati, kita lahir kembali; setelah dilahirkan, kita mati lagi. Kelahiran dan kematian dari satu momen ke momen berikutnya adalah putaran roda samsara yang tidak pernah berakhir.

Kualitas diri yang unik

Kualitas diri yang unik


Di sebuah restoran terdengar percakapan antara kopi, bir, air jernih dan teh.

Secangkir kopi berkata : “Janganlah kamu meremehkan secangkir kopi kecil seperti saya. Hargaku cukup mahal. Orang yang meminumku mendapatkan hasil yang menakjubkan, pikiran mereka menjadi enteng dan lelahpun akan hilang sehingga tidak mengantuk lagi.

Bir menjawab : “Mana bisa kopi dibandingkan dengan air seperti saya. Bir adalah minuman terbaik di dunia. Setelah minum bir orang akan menjadi bersahabat dan romantis. Selain itu bir lebih mahal, mungkin delapan kali lipat dari harga kopi, belum termasuk tip lho….”

Mendengar omongan bir, kopi kembali menjawab : “Oke walaupun saya bukan yang terbaik, saya lebih baik dari yang lain, paling tidak saya harus bertanya kepada segelas air jernih untuk lebih meyakinkan. Ia hanya minuman gratis di restoran ini. Ia tidak berharga sama sekali. Ha….ha….ha menggelikan.”

Mendengar perkataan kopi, air jernih menjawab : “Jangan memandang rendah saya. Walaupun saya tidak lebih berharga daripada kalian di restoran ini, di gurun pasir saya adalah minuman yang paling menyenangkan.”

Mendengar percakapan kopi, bir dan air jernih, teh berkata : “Air jernih masuk akal. Ijinkan saya Teh Spesial memberi penjelasan. Di dunia ini tidak ada perbedaan nyata atas segala sesuatu yang berharga. Segalanya berharga dan indah apa adanya. Dalam batas batas nilai uang, teh yang bagus seperti aku berharga lima puluh ribu rupiah per ons. Saya tidak lebih murah dari kalian berdua. Banyak orang tidak perduli pada kopi dan bir tapi mempunyai minat khusus padaku. Dalam menulis dan berfikir, kopi adalah teman yang baik. Saat bergaul dan perayaan, bir yang baik akan terasa begitu menyenangkan. Dan untuk menghilangkan haus serta menambah cairan tubuh, air jernih adalah yang penting sebagai penyelamat hidup. Oleh karena itu, segala sesuatu di dunia ini memiliki kualitas unik masing masing. Tidak perlu membandingkan diri kita dengan yang lain. Bila kita teh, perankan sebagai teh dengan sebaik baiknya. Bila kita kopi, perankan sebagai kopi dengan sebaik baiknya. Dan jika kita air jernih, perankan sebagai air jernih dengan sebaik baiknya.”

Begitu pula kita sebagai manusia. Hidup dalam perbandingan akan terasa melelahkan. Kita bukan dia. Sebaliknya, dia juga bukan diri kita. Lebih baik, kita melakukan yang terbaik dengan apapun yang kita miliki saat ini. Apabila masing-masing orang mampu melakukan yang terbaik secara positif, maka kehidupan bermasyarakat akan menjadi bahagia. Penuh damai dan ketenangan tanpa adanya permusuhan yang mungkin timbul dari perbandingan. Tidak ada lagi orang yang merasa diri sendiri paling hebat, paling kuat, paling bijaksana dan paling benar di seluruh dunia. Semuanya sama dan setara dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Resep Rahasia Orang Buta

Resep Rahasia Orang Buta

Ada dua orang buta yang seorang yang sudah tua dan yang seorang masih muda, mereka adalah guru dan murid, mereka mencari nafkah dengan bermain kecapi.

Pada suatu hari orang buta yang tua ini sudah tidak dapat bertahan lagi, dia jatuh sakit, dia tahu umurnya sudah tidak panjang lagi, lalu dia memanggil muridnya ke samping tempat tidurnya.

Tangannya yang gemetaran menggengam tangan muridnya dengan susah payah berkata,” Anakku, didalam sini ada sebuah resep rahasia, resep rahasia ini akan membuat engkau melihat dunia terang lagi, saya menyembunyikannya didalam kecapi ini, tetapi engkau harus ingat, engkau harus bermain kecapi sampai seribu senar kecapi ini terputus, baru boleh mengeluarkan resep rahasia ini, jika tidak engkau tidak akan melihat cahaya terang lagi.”

Si buta kecil ini sambil menghapus air matanya berjanji kepada gurunya, gurunya dengan tersenyum damai pergi meninggalkan dunia ini.

Sehari demi sehari berlalu, setahun demi setahun berlalu, si buta kecil selalu ingat kepada pesan gurunya, selembar demi selembar tari senar putus disimpannya baik-baik, selalu menghitungnya didalam hati. Ketika dia bermain sampai tari senar yang ke 1000 terputus, pemuda kecil buta yang lemah yang dulu sekarang sudah menjadi si buta tua renta.

Dia tidak dapat mengekang rasa bahagia yang ada didalam hatinya, dengan tangan gemetar dia membuka kecapinya, mengeluarkan resep rahasia yang ada didalam kecapi.

Kemudian, orang lain memberitahu kepadanya bahwa itu adalah sepotong kertas kosong, diatas kertas itu tidak tertulis sepatah katapun, air matanya menetes diatas kertas, dia tertawa.

Apakah si buta tua membohongi si buta kecil?

Si buta tua yang dahulunya adalah si buta kecil, memegang kertas putih yang tidak ada tulisan sama sekali , lalu kenapa dia malahan bisa tertawa?.

Pada saat dia membuka resep rahasia itu, seketika itu juga dia menjadi mengerti makna yang terkandung didalam hati gurunya, walaupun hanya sepotong kertas putih, tetapi itu merupakan sebuah resep rahasia tanpa tulisan, resep rahasia yang tidak akan ada orang tahu. Hanya dia sendiri yang dari kecil menemani gurunya bermain kecapi yang mengerti makna yang terkandung dalam resep rahasia yang tanpa tulisan ini.

Resep rahasia itu adalah pancaran sinar terang, yang ketika dia berada dalam kesusahan menghadapi perjalanan hidup ini gurunya menyalakan sinar terang ini untuk menemani menjalani perjalanan hidup yang susah ini, jika tidak ada sinar terang ini, dia mungkin sudah ditelan oleh kegelapan hidup ini, mungkin dari dahulu dia sudah tersungkur jatuh oleh kesusahan hidup ini.

Karena harapan dari seberkas terang ini, dia dapat bermain kecapi sampai seribu senarnya terputus, karena dia ingin bisa melihat cahaya terang lagi, dengan teguh tanpa goyah mempercayai pesan gurunya. Kegelapan bukan selamanya terjadi, asalkan tidak mudah melepaskan keyakinan, setelah semua kegelapan ini berlalu, akan ada cahaya yang tidak terbatas.

Setelah menaklukkan berbagai rintangan dan kesusahan, kepercayaan yang teguh ini akhirnya membuat hatinya bisa melihat cahaya terang yang sebenarnya, Apakah akhirnya dapat melihat sinar terang didunia ini hal yang perlu dibanggakan? Manusia memiliki sepasang mata yang terang, tetapi memiliki sisi hati yang gelap, apakah ini berguna?

Makna Latihan Tidak Membunuh

Makna Latihan Tidak Membunuh

Dhamma akan melindungi mereka yang melaksanakannya.

Dalam perjumpaan ini akan dibahas tentang pandangan salah yang sering terjadi dalam masyarakat mengenai latihan tidak membunuh yang merupakan salah satu pelaksanaan Pancasila Buddhis. Pendapat keliru itu menyatakan bahwa menjadi seorang umat Buddha adalah sulit. Umat Buddha tidak boleh membunuh kecoa karena nanti bisa terlahir sebagai kecoa. Tidak boleh membunuh tikus, karena nanti ia bisa terlahir kembali sebagai tikus. Bahkan seorang umat Buddha sekalipun dapat mempunyai pandangan yang salah yaitu mereka akan melepas burung agar tidak terlahir kembali sebagai burung. Mereka juga tidak melakukan pembunuhan pada semut karena takut terlahir sebagai semut. Pola pikir seperti ini adalah merupakan pola pikir yang keliru. Kalau memang benar membunuh kecoa dapat terlahir kembali menjadi kecoa atau membunuh semut dapat terlahir kembali sebagai semut, maka mungkin orang akan berlomba untuk membunuh mahluk yang baik-baik agar ia dapat terlahir sebagai mahluk yang baik pula. Mungkin ia akan membunuh seorang raja agar ia dapat terlahir kembali sebagai seorang raja. Ia mungkin akan membunuh para bintang film agar ia pun terlahir kembali sebagai bintang film atau yang lainnya lagi. Hal ini jelas merupakan pandangan keliru.

Terdapat pandangan salah lain yang berkembang dalam masyarakat. Apabila seorang bayi meninggal, baik bayi itu masih dalam kandungan maupun sudah terlahir beberapa waktu, maka untuk menenangkan keluarganya yang sedih kehilangan bayi tersebut, orang menasehatinya dengan mengatakan bahwa bayi itu pasti akan masuk surga karena ia masih suci. Ini adalah hal yang aneh. Kalau memang karena masih bayi yang dianggap suci itu meninggal dan pasti terlahir di surga, mungkin akan banyak ibu yang mencekik mati bayinya sendiri agar ia dapat memberi kesempatan mahluk lain terlahir di alam surga. Dengan demikian, ibu itu akan berjasa karena telah mengantarkan satu calon penghuni surga. Tentu saja tidak akan pernah ada pembunuhan bayi sendiri dengan dasar pandangan yang salah ini. Bayi yang mengalami kematian walaupun sejak masih dalam kandungan tetap akan terlahir di alam bahagia maupun menderita sesuai dengan timbunan karma yang ia telah miliki sejak kelahirannya yang lalu. Bayi dalam pandangan Buddha Dhamma sudah tidak suci lagi sejak dalam kandungan.

Salah satu hal yang membuat tidak suci dalam kehidupan manusia adalah melakukan pelanggaran sila. Dalam Ajaran Sang Buddha dikenal adanya lima latihan kemoralan. Lima latihan kemoralan atau Pancasila Buddhis seperti yang diterangkan pada Anguttara Nikaya III, 203 ini berisikan tekad untuk melatih diri menghindari pembunuhan, pencurian, perjinahan, bohong dan mabuk-mabukan. Salah satu hal yang akan disoroti dan dibahas dalam kesempatan ini adalah latihan yang pertama yaitu latihan untuk mengurangi pembunuhan.

Dalam Buddha Dhamma, obyek pembunuhan bukan hanya manusia saja, melainkan meliputi semua mahluk. Sikap atau pandangan hidup seperti ini kadang menjadi sumber permasalahan ketika seorang umat Buddha berpacaran dengan orang yang berbeda keyakinan atau agamanya. Pada saat mereka berpacaran bila ada seekor nyamuk yang datang mengganggu, maka si umat Buddha akan berusaha untuk mempertahankan kehidupan nyamuk itu, dan ia tidak menghiraukannya. Sedangkan bagi yang bukan umat Buddha, mereka menganggap nyamuk adalah mahluk atau binatang yang bisa saja dibunuh agar tidak mengganggu lagi. Perbedaan pandangan ini kadang kemudian akan menyulut percekcokan di antara keduanya.

Contoh di atas adalah merupakan sebuah gambaran nyata tentang permasalahan yang akan timbul apabila seseorang melatih diri untuk tidak membunuh. Sesungguhnya, latar belakang yang mendasari latihan untuk tidak membunuh itu perlu diketahui terlebih dahulu. Dengan demikian, ia akan menjadi lebih bijaksana dalam melaksanakan latihan di lingkungan masyarakat yang berbeda-beda. Sebenarnya latihan tidak membunuh bahkan kepada mahluk sekecil nyamuk ataupun mahluk yang lebih kecil lagi itu adalah merupakan cara dalam Dhamma untuk melatih umat Buddha agar dapat merasakan berbagai penderitaan yang dialami mahluk lain. Karena sama dengan diri sendiri yang tidak mau disakiti maupun dibunuh, demikian pula halnya dengan mahluk yang lain itu. Hal ini telah pernah disampaikan Sang Buddha dalam salah satu sabdaNya. Beliau menyampaikan bahwa setelah seseorang berkeliling, maka ia akan mengetahui bahwa semua mahluk mencintai kehidupannya sendiri. Dengan demikian, tidak ada hak mahluk lain untuk menghilangkan kehidupan atau membunuh mahluk lainnya.

Semua mahluk gemetar ketakutan menghadapi kematian, demikian pula dengan diri kita semua. Kita akan selalu menghindar dan gemetar terhadap bencana serta ancaman. Dengan melihat mahluk yang akan dibunuh di tempat penjagalan hewan, maka orang hendaknya juga menyadari bahwa semua mahluk yang akan dijadikan korban itupun akan meronta dan memberontak sekuat tenaga. Mereka takut menghadapi penderitaan dan kematian. Sungguh sangat menyedihkan.

Dengan belajar dari mahluk yang sederhana seperti nyamuk, kecoa, sapi, kambing dlsb, maka orang akan bisa memperluas obyek perhatiannya pada manusia. Sama dengan diri sendiri, manusia yang lain pun merasakan ketakutan menghadapi penderitaan dan kematian. Namun, tanpa adanya kesadaran ini, orang akan sering melakukan penganiayaan serta pembunuhan secara lahir maupun batin kepada orang lain.

Pembunuhan secara batin ini dapat dilakukan dengan ucapan. Ucapan yang tidak mau kalah, sombong dan menyakiti hati orang lain, sebenarnya adalah merupakan salah satu bentuk penganiayaan dan pembunuhan secara batin kepada orang lain. Kalau orang yang dianiya dengan kata-kata itu tidak bisa menerima kenyataan, maka ia pun akan membalasnya. Kalau sudah demikian, mereka akan saling berbalasan dan akhirnya timbullah permusuhan di antara mereka. Permusuhan yang tidak terselesaikan dalam satu kehidupan akan terbawa ke kehidupan yang lain. Mereka akan selalu bertemu di setiap kehidupan untuk saling bertentangan. Permusuhan yang terbawa ke dalam banyak kelahiran kembali ini baru dapat diselesaikan apabila masing-masing fihak, atau paling tidak salah satu fihak mau mengembangkan cinta kasih. Karena sesungguhnya kebencian tidak akan berakhir dengan kebencian, kebencian baru bisa berakhir dengan cinta kasih.

Selain penganiayaan dan pembunuhan dalam bentuk batin, tidak jarang juga terjadi dalam masyarakat pembunuhan yang bersifat fisik. Sering dijumpai berita di koran maupun berbagai sarana media massa lainnya bahwa karena saling memandang, akhirnya orang berkelahi dan saling membunuh. Ada juga yang hanya karena saling senggol, akhirnya mereka berkelahi dan saling melukai. Adanya berbagai tingkat penganiayaan dan pembunuhan karena berbagai sebab yang sangat sederhana ini menunjukkan kondisi masyarakat yang sudah cukup memprihatinkan. Timbulnya semua kekerasan ini karena kebanyakan orang tidak dilatih untuk menyayangi kehidupan mulai dari mahluk yang paling kecil sekalipun. Banyak orang justru dibiasakan melakukan pembunuhan sebagai satu-satunya cara untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Misalnya ada seekor nyamuk yang terbang mengganggu, maka orang sudah terbiasa menggunakan obat nyamuk atau menepuknya dengan kedua telapak tangan agar nyamuk itu mati. Pembunuhan ini dianggapnya sebagai cara mudah dan bijaksana untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Mulai dari kebiasaan yang kecil inilah akhirnya orang mudah melakukan kekerasan untuk menyelesaikan suatu masalah yang sederhana sekalipun. Kebiasaan melakukan kekerasan ini terbentuk karena adanya keinginaan yang diwujudkan dalam perbuatan. Apabila perbuatan itu diulang-ulang, maka jadilah suatu kebiasaan. Dan, apabila kebiasaan itu dilakukan dalam waktu yang lama, maka timbullah watak. Memang, membunuh nyamuk bukanlah karma buruk yang besar, namun perilaku kekerasan ini kalau dibiarkan akan menjadi kebiasaan dan bahkan menjadi watak seseorang untuk menyakiti bahkan membunuh mahluk lain yang tidak menyenangkan hatinya.

Itulah sebabnya dalam Dhamma disarankan untuk setiap orang melatih diri untuk tidak membunuh. Latihan ini bukan disebabkan karena takut terlahir sebagai nyamuk atau kecoa ataupun segala bentuk mahluk yang lain. Bukan seperti itu. Latihan ini adalah untuk membentuk kebiasaan seseorang agar dapat menghargai segala kesulitan dan penderitaan mahluk lain. Latihan ini juga untuk membentuk watak seseorang agar ia lebih mudah memaafkan kesalahan orang atau bahkan mahluk lain yang mungkin telah menyakiti hatinya.

Dengan demikian, kalau perilaku positif ini bisa dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka orang yang mempunyai watak mudah memaafkan kesalahan orang ini akan mudah bergaul, tidak mudah marah, dan akan disayangi oleh lingkungannya. Ia akan mudah menerima kekurangan orang, sebagaimana ia juga menerima kelebihan orang itu. Ketika ia dalam masa pacaran, maka suasana pacaran akan penuh kebahagiaan dan kedamaian. Setelah ia mendapatkan pasangan hidup, maka suasana rumah tangga yang ia bina pun akan sangat harmonis karena ia selalu berpikir untuk membahagiakan pasangan hidupnya yaitu orang yang dicintainya. Dalam dirinya akan timbul rasa takut menyakiti perasaan pasangannya. Orang itu akan menyadari bahwa melukai perasaan orang yang disayanginya adalah sama dengan melukai dirinya sendiri. Kalau melihat orang yang dicintainya sedang bersedih, maka diri sendiri pun akan ikut bersedih. Segala hal yang membuat diri sendiri dapat merasakan kebahagiaan, ia akan melakukan hal itu kepada orang yang dicintainya. Ia akan hidup berbahagia karena dapat menyayangi dan memperhatikan orang yang dicintainya. Ia juga akan bahagia karena mendapatkan kasih sayang serta perhatian yang setimpal dari orang yang dicintainya.

Kalau seseorang sudah dapat memberikan perhatian dan kasih sayang kepada orang yang dicintai dan disayanginya, maka kemudian hendaknya ia memperluas obyek kasih sayangnya itu kepada sanak saudara dan lingkungannya. Prinsip dasarnya tetap sama, kalau diri sendiri tidak mau disakiti, maka janganlah menyakiti mahluk lain. Kalau prinsip timbulnya kasih ini sudah dimiliki, maka orang itu bukan hanya mampu mengembangkan kasih sayang dan perhatian kepada sesama manusia saja, melainkan juga kepada semua mahluk, baik mahluk tampak maupun tidak tampak.

Tujuan akhir pelaksanaan sila bukanlah tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berjinah, tidak berbohong, dan tidak mabuk-mabukan. Bukan itu tujuan akhirnya. Pelaksanaan sila adalah merupakan latihan yang perlu dikerjakan oleh seorang umat Buddha. Oleh karena itu, setiap latihan yang terdapat dalam Pancasila Buddhis menggunakan istilah: sikkhäpadang samädiyämi . Sikhapada artinya adalah latihan. Latihan tidak membunuh ini bertujuan untuk menghargai kehidupan mahluk lain. Dengan dapat menghargai kehidupan mahluk lain, maka orang akan diarahkan agar dapat memberikan kebahagiaan kepada mahluk lain. Mahluk lain yang mendapatkan kebahagiaan darinya akan menjadi sahabat dan bahkan teman yang akan selalu melindunginya. Oleh karena itu disebutkan dalam Dhamma bahwa Dhamma akan melindungi mereka yang melaksanakannya.

Ketika seseorang telah memiliki tenggang rasa dan mampu memberikan kasih sayang untuk membahagiakan makhluk lain, orang itu dikatakan telah melakukan abhaya dana . Arti abhaya dana adalah ‘ a ‘ berarti tidak, sedangkan ‘ bhaya ‘ adalah bahaya, jadi abhaya dana adalah memberikan dana atau kerelaan dalam bentuk tidak membahayakan mahluk lain. Dengan menanam kebajikan berbentuk keamanan dan tidak membahayakan mahluk lain, maka orang akan mendapatkan buah kebahagiaan dalam bentuk terbebas pula dari berbagai bahaya. Ia akan mendapatkan rasa aman kemanapun ia pergi, dan dimanapun ia berada.

Ada sebuah cerita yang dapat dijadikan ilustrasi tentang abhaya dana ini. Pada jaman dahulu terdapatlah seorang tuan tanah yang sangat sangat kikir. Tuan ini mempunyai tanah yang sangat luas. Tanah yang sedemikian luas tersebut banyak disewakan untuk para penduduk di sekitar tempat ia tinggal. Banyak pula tanahnya yang disewakan untuk orang dari daerah lain. Setiap tahun dia mengutus beberapa anak buahnya untuk menagih uang sewanya. Para utusan ini pergi ke berbagai daerah untuk menagih uang sewa tersebut. Pada waktu utusan itu menagih di suatu tempat, biasanya tuan tanah akan berpesan kepada mereka untuk membawa pulang oleh-oleh yang khas dari daerah tersebut. Para utusan dengan taat melakukan pesan tuannya. Mereka setiap kali kembali selalu membawa buah-buahan, makanan khas, souvenir dan masih banyak barang lainnya. Hal ini sungguh membahagiakan si tuan tanah. Demikianlah hal ini dilakukan untuk waktu yang lama.

Namun, pada suatu saat ada seorang utusan yang pulang dan tidak membawa buah tangan apapun juga. Ia bahkan tidak membawa pulang uang tagihan bersamanya. Si tuan tanah heran dan marah mengetahui hal ini. Ia menanyakan alasan utusan itu tidak membawa uang tagihan rutinnya. Utusan itu memberikan alasan bahwa daerah tempat ia harus menagih itu telah gagal panen dan ada bencana alam sehingga penyewa tanah sudah tidak mempunyai harta lagi. Karena itulah ia membebaskan mereka dari tagihan uang sewa tahun itu. Utusan itu mengatakan kepada tuannya bahwa untuk kali ini, ia memberikan kepada tuannya kenang-kenangan berupa abhaya dana yaitu kerelaan untuk membuat orang lain merasa aman dan terbebas dari bahaya. Tuan tanah ini menjadi sangat marah dan langsung memecat utusan tersebut.

Beberapa waktu kemudian, timbullah huru hara besar di tempat si tuan tanah tinggal. Banyak rumah di hancurkan. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Si tuan tanah bersama dengan semua anggota keluarganya melarikan diri dan meninggalkan rumahnya. Mereka sekeluarga lari dan minta pertolongan serta perlindungan ke penduduk desa di sekitar mereka tinggal. Sayangnya, karena kekejamannya selama ini, mereka bukannya ditolong oleh penduduk, mereka bahkan akan dibunuh oleh penduduk. Tidak ada orang yang mau menolongnya. Mereka terus berjalan dari desa ke desa untuk meminta pertolongan. Namun, semua usaha ini mengalami kegagalan. Mereka bahkan selalu akan dibunuh di setiap tempat pemberhentian mereka.

Perjalanan mereka yang penuh ketakutan ini akhirnya membawa mereka ke sebuah desa yang terpencil. Mereka dengan penuh kekuatiran mencoba untuk minta tolong dan perlindungan kepada penduduk desa itu. Di luar dugaan, kedatangan mereka sekeluarga justru disambut hangat oleh para penduduk desa itu. Mereka disambut seolah orang yang sangat disayangi oleh penduduk di sana. Mereka merasa heran dengan sikap penduduk desa itu. Mereka kemudian menanyakan penyebab kehangatan sambutan yang dilakukan oleh semua penduduk. Ternyata, para penduduk desa ini merasa sangat berterima kasih kepada si tuan tanah bahwa pada saat panenan mereka gagal dan terjadi bencana alam, si tuan tanah telah membebaskan mereka dari segala tagihan uang sewa. Dan, inilah yang akhirnya menjadi kenangan indah untuk mereka. Ini pula yang menjadikan mereka merasa berhutang budi kepada si tuan tanah. Mendengar hal ini, menangislah si tuan tanah. Ia menjadi teringat kepada utusannya yang telah diusirnya karena telah membebaskan tagihan uang sewa orang di desa ini. Ternyata, justru dari kebijaksanaan utusan itulah yang membuatnya selamat dan mendapatkan perlindungan. Ia barulah menyadari bahwa memberikan abhaya dana akan dapat menjadi pelindung untuk diri sendiri maupun keluarganya. Ia kemudian berubah menjadi orang yang baik. Ia memulai usahanya di desa tempat ia ditampung dan dilindungi tersebut. Ia kemudian menjadi orang yang suka berdana, tidak lagi kikir. Ia pun menjadi orang yang sangat dicintai oleh masyarakat di manapun juga. Namanya menjadi harum bahkan sampai ke daerah-daerah lainnya.

Semoga cerita ini dapat dijadikan perenungan dan contoh bahwa abhaya dana yang diberikan pada saat ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk keamanan dan kedamaian di masa yang akan datang.

Selain seseorang menghindari pembunuhan serta penganiayaan baik fisik maupun non fisik, orang hendaknya juga dapat memberikan maaf, ketenangan kepada lingkungan, kepada teman, kepada pasangan hidup dan sesama anggota masyarakat tempat seseorang tinggal. Dengan selalu memberikan maaf kepada semua fihak maka kemanapun ia pergi, ia akan mendapatkan keamanan dan perlindungan.

Inilah suatu cara sederhana untuk mendapatkan keselamatan yaitu memberikan keselamatan kepada mahluk lain terlebih dahulu. Keselamatan tidak dapat dibeli. Keselamatan tidak dapat diperoleh dengan kekuatan pedang maupun uang. Keselamatan hanya dapat diperoleh dengan pelaksanaan Dhamma yang baik. Pelaksanaan Dhamma dengan baik dapat dilakukan apabila orang mampu mengerti dan menghayati penderitaan makhluk lain sehingga ia akan selalu berusaha menghindari sikap, ucapan dan tindakan yang dapat menyebabkan penderitaan makhluk lain.

Semoga pesan Dhamma yang sederhana ini akan dapat dimengerti dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga semuanya mendapatkan kebahagiaan dan keamanan dari latihan untuk tidak membahayakan mahluk lain. Semoga semua mahluk baik tampak maupun tidak tampak akan mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya masing-masing.

Sabbe satta bhavantu sukhittata

BEYOND THE LIVING: GODS, GHOSTS and DEMONS

BEYOND THE LIVING: GODS, GHOSTS and DEMONS

Oleh: Ajahn Brahmavamso


GHOSTS:

Dari judulnya, sudah pasti banyak yang tertarik. Kata Ajahn sepertinya malam ini yang paling banyak pendengarnya. Dulu waktu dia disuruh berkotbah di Kuala Lumpur, Malaysia, dia diminta kasih judul kotbahnya, dia juga kasih yang ini dan yang muncul dengar banyak sekali. Sampe Bhikkhu di Kuala Lumpur bercanda, wah waktu saya berkotbah yang dengar bisa dihitung pake jari.

Ajahn Brahm berkata, is ghost exist or not? The answer is YES!

Tapi tidak usah takut karena hantu tidak pernah melukai manusia. Hantu hanya menakuti, tidak pernah melukai. Jangan percaya pada wajah hantu yang mengerikan dalam film itu.

Kemudian dia bertanya, coba tunjuk tangan bagi mereka yang pernah lihat hantu! Ada beberapa pendengar yang menunjuk tangan.

Kemudian dia bertanya lagi, coba tunjuk tangan bagi mereka yang pernah dilukai hantu! Ada beberapa juga yang menunjuk tangan.

Kemudian Ajahm Brahm berkata kepada mereka, benarkah kamu dilukai hantu? Saya melihat kamu masih baik-baik duduk di sini mendengar cerita saya.

Ada orang berkata, sewaktu tidur seperti dicekik hantu tidak bisa bernafas. Apakah itu bukan berarti dilukai?

Ajahm Brahm menjawab, sebenarnya pengalaman itu bukanlah dicekik hantu. Itu adalah pengalaman fisik kita sewaktu tidur karena pikiran kita ataupun pernafasan kita yang terganggu. Pikiran kita terikat pada sesuatu membuat kita lupa atau tidak mau bernafas, lain kali kalau mengalami yang begitu cobalah relaks and let go.

Percayalah, tidak ada hantu yang jahat di dunia ini, paling ada hantu yang nakal. Karena hantu itu seperti anak-anak, suka main dan suka diperhatikan orang. Tetapi ada sejenis hantu yang sangat mengerikan, dia bukan hanya membunuh diri sendiri. Tetapi juga membunuh orang lain. Akan saya ceritakan tentang hantu ini nanti terakhir-akhir.

Dulu teman saya menceritakan pengalamannya tentang hantu. Sewaktu dia bermeditasi, dia mencium ada bau aneh tapi tidak dihiraukan. Kemudian dia melanjutkan meditasinya tetapi dia diganggu terus oleh hantu itu, digelitik seperti meminta perhatiannya. Dia tetap tidak menghiraukan. Keesokan harinya sewaktu dia masuk lagi ke ruang meditasinya, masih tercium bau yang aneh itu.

Dia tahu kalau itu adalah bau hantu karena bau dewa itu harum. Jadi sebelum dia memulai meditasinya, dia mengambil bantal lebih satu taruh di sampingnya dan berkata dengan tegas, “I know it is you. There you sit down and meditate with me or else, go somewhere else! Don’t bother me!”

Setelah itu, meditasinya tidak pernah terganggu lagi dan bau yang tidak sedap itupun lenyap.

Ada sepasang suami istri Buddhis yang sering ke vihara kita di Australia. Mereka menceritakan pengalamannya membeli rumah baru. Agen rumah tidak memberitahukan kalau pemilik rumah sebelumnya baru saja mati di depan rumahnya sewaktu memindahkan perabotnya. Karena pemilik sebelumnya mungkin ada penyakit jantung atau karena kegemukan, dia mati di pintu rumah sewaktu memindah perabotnya. Suami istri ini tidak tahu jadi mereka pindah masuk saja seperti biasanya.

Tetapi tiap malam mereka diganggu orang yang iseng memijit bel. Mereka membuka pintu dan mengira mungkin saja anak-anak yang sedang iseng, tapi ternyata tidak ada orang. Sampai tengah malam pun begitu. Suaminya ada ide, dia mengeluarkan baterai dari bel jadi waktu dipijit tidak berbunyi lagi. Tetapi walaupun tidak ada baterai, bel itu berbunyi lagi. Barulah mereka tahu ini bukan perbuatan orang iseng. Ternyata itu hantu pemilik rumah sebelumnya yang mau masuk ke rumah. Dia belum sadar kalau dia sudah mati.

Mereka baru tau akan kejadian tentang hantu ini setelah mendengar dari tetangga-tetangganya.

Jadi sebagai umat Buddha mereka meminta petunjuk dari bhikkhu dan membacakan paritta (doa) supaya hantu itu bisa pergi ke tempat yang seharusnya dia berada.

Kalian tahu kenapa kebanyakan hantu tidak dapat diambil fotonya. Saya dulu juga heran. Sewaktu saya masih kuliah, saya bersama teman sekelas saya masuk menjadi anggota dari klub yang mengamati miracle (keajaiban). Karena mata kuliah saya semua tentang ilmiah, saya sangat ingin tahu tentang keajaiban di dunia.

Kita ada membuat kelompok belajar dan pergi mencari rumah-rumah yang berhantu. Kita berupaya untuk mengambil foto tetapi tidak ada satupun yang jadi. Setelah mendalami agama Buddha saya baru mengerti kalau hantu itu hanya dapat dilihat oleh pikiran.

Ini mengingatkan saya tentang cerita kungfu Tiongkok yang saya lihat sewaktu kecil. Cerita itu mengenai seorang anak yang belajar kungfu pada seorang guru. Pada suatu hari guru itu membawa anak itu pergi ke sebuah kolam. Dia berkata pada anak itu, Awas! Jangan terlalu dekat dengan kolam itu.

Kalau kamu jatuh ke dalam, kamu akan menjadi tulang-tulang yang kamu lihat itu pada dasar kolam. Karena kolam ini bukan kolam air biasa, melainkan air asam pekat yang menghancurkan apa saja. Jadi untuk melatih keseimbangan badanmu, kamu harus berjalan di atas jembatan kayu ini dan berlatih selama 7 hari.

Seandainya badanmu tidak seimbang kamu bisa jatuh ke dalam kolam. Jadi berhati-hatilah. Anak itu berlatih tanpa jatuh ataupun terpeleset sekalipun dan tibalah 7 hari itu. Gurunya berkata, kamu sudah berlatih 7 hari, untuk meyakinkan bahwa keseimbangan badanmu sudah mantap, saya akan menutup matamu dengan kain hitam dan kamu berjalan lagi di jembatan itu satu putaran.

Mulailah anak itu merasa takut. Selangkah demi selangkah dia maju di jembatan itu, tetapi baru 7 langkah dia sudah terpeleset dan jatuh ke kolam.

STAY TUNED! Seperti biasanya komersial iklan di TV muncul pada saat-saat kritis, dan saya harus menunggu beberapa menit untuk melihat apa yang terjadi pada anak itu.

Kembali ke film ini, anak itu berpikir tamatlah riwayatku. Tetapi begitu dia terjatuh dia terdengar gurunya tertawa terbahak-bahak dari tepi kolam dan berkata bukalah kain hitam itu dan berenanglah ke tepi. Anakku, tidak ada kolam asam, tulang tengkorak yang seperti kamu lihat itu hanyalah palsu saja. Itu air biasa, tetapi pikiranmu telah menghantui kamu, rasa takutmu lah yang menghantui kamu sehingga keseimbangan batinmu tidak terjaga, dan tentu saja dengan keseimbangan badanmu.

Kembali tentang klub pelacak keajaiban yang saya masuk dulu. Dalam program pertama dari klub ini, ada seorang wanita tua yang datang memberikan ceramahnya tentang ilmu gaib. Dia bilang, “Welcome to my talk. As you know, I’m a witch (nenek sihir).” Srrhh… kita semua berdiri bulu romanya. Kemudian berkata lagi. “Don’t be afraid. There are 2 kinds of witches. Black Witch and White Witch. Black Witch is Evil and White Witch is a kind Witch, who always helps people. I’m a White Witch.”

Semua orang menjadi tenang kembali.

Kemudian nenek itu melanjutkan lagi. “But… Black Witch will always say that she too a White Witch” hahaha…

Teman bersama saya yang masuk klub ini sekarang berbisnis di London dan masih aktif dalam klub ini. Saya bertemu dengannya akhir-akhir ini. Kartu bisnisnya sangat unik. Selain bisnis utamanya, di bawah namanya ada tertulis “Member of Ghost Buster of Northern Island”. (artinya anggota penangkap hantu dari Pulau bagian Utara). Di Inggris banyak sekali hantu gentayangan. Karena hantu-hantu itu terlalu lengket / melekat pada keluarganya atau rumahnya atau barangnya. Mereka tidak rela meninggalkan kediamannya atau keluarganya, jadi tetap di sana tidak mau pergi-pergi untuk tumimbal lahir.

Tetapi bagaimanapun, bhikkhu yang baik lah yang ahli dalam menangkap hantu. Bhikkhu itu ahli sebenarnya bukan karena dia memiliki kekuatan gaib atau kekuatan lainnya. Tetapi karena Bhikkhu itu menaati peraturan-peraturan yang diberikan Sang Buddha, sehingga bhikkhu-bhikkhu dapat terbebas dari segala niat buruk atau apapun yang tidak baik, dan bhikkhu-bhikkhu juga bisa memancarkan kasih sayangnya kepada semua makhluk tanpa meminta pembalasan apapun.

Talk about this precept (peraturan), saya teringat tentang seorang wanita Thai usia 60 an yang sering ke vihara kita di Australia. Dia seorang Buddhis yang sangat saleh, taat pada Pancasila Buddhis dan tiap minggu menjalankan Atthasila Buddhis (8 sila Buddhis). Tetapi ada beberapa minggu saya tidak melihatnya, tetapi saya melihat putrinya dan bertanya kemana orang tua itu?

Kemudian putrinya bercerita. Ibunya sakit dan berada di hospital. Kata putrinya, sekarang saya lebih yakin dengan agama Buddha. Karena sebenarnya ketika ibuku baru masuk rumah sakit saya sangat kuatir dan pergi menjenguk seorang ahli pengobatan dengan ilmu gaib yang terkenal. Saya membayar A$20 kepadanya kemudian dia meminta nama, tanggal lahir, nama rumah sakit dan nomor tempat tidur ibuku. Begitu saya beritahu kepadanya, dia membaca mantra-mantranya sampai lama sekali. Kemudian dia bangun dan berkata padaku, apakah ibumu ada ilmu gaib atau memakai apa-apa dalam tubuhnya. Saya tidak bisa melihat dengan jelas karena dia seperti diselimuti oleh atmosphere putih disekelilingnya.

Saya menjawab, tidak ibu saya tidak memakai apa-apa tetapi dia penganut Buddha yang taat pada peraturannya. Seketika itu juga ahli gaib ini mengembalikan uangku A$20 dollar dan berkata, kenapa kamu tidak bilang sebelumnya, buang waktuku saja!

Dari sini, kalian harus tahu, bahwa menaati Sila yang ditetapkan Sang Buddha itu berarti melindungi diri kalian sendiri. Setiap kali ke vihara, kita selalu bersujud di depan rupang Sang Buddha. Kalian tahu apa artinya? Itu bukan berarti kita umat Buddha menyembah-nyembah di depan patung.

Dulu saya tidak mengerti, saya hanya ikut saja bersujud. Sekarang saya mengerti bahwa saya bersujud di depan rupang (patung) Sang Buddha bukan karena saya menyembahnya, tetapi saya menghormati dan mengagungkan jalan yang ditunjukkan Sang Buddha dan bersujud untuk mengingatkan saya harus berjalan di atas jalan yang ditunjukkan olehNYA.

==========================

Note: Pancasila Buddhis adalah Lima sila yang harus ditaati umat Buddha. Sewaktu seorang umat Buddha di wisudhi, selain berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, dia juga harus berjanji taat pada Pancasila Buddhis yang ditetapkan oleh Sang Buddha sebagai peraturan untuk umat awam. Isi Pancasila Buddhis itu adalah:

1. Panatipata Veramani Sikkhapadang Samadiyami. Saya berjanji untuk tidak membunuh atau melukai makhluk apapun.

2. Adinandana Veramani Sikkhapadang Samadiyami. Saya berjanji untuk tidak mencuri, mengambil milik orang lain tanpa persetujuannya.

3. Kamesumichacara Veramani Sikkhapadang Samadiyami. Saya berjanji untuk tidak melakukan perbuatan serong atau asusila. Saya hanya setia pada pasangan saya.

4. Musavada Veramani Sikkha padang Samadiyami. Saya berjanji untuk tidak berbohong, tidak berkata kasar. Saya hanya berbicara yang jujur dan benar.

5. Sura-meraya-maja-pamadathana Veramani Sikkhapadang Samadiyami. Saya berjanji untuk tidak minum arak, makan obat yang mengakibatkan kecanduan dan kebodohan. Saya harus selalu berwaspada.

===========================

Sewaktu Ajahn Brahm berbicara tentang lima sila yang harus ditaati umat awam ini, dia bercanda tentang orang Thai yang pergi ke vihara. Dulu dia merasa aneh melihat beberapa lelaki Thai yang ke vihara berdoa dengan sikap anjali tetapi tidak semua lima jari bertemu lima jari sebagai mana seharusnya. Ada yang dua jarinya disimpan sehingga hanya 4 pasang jari yang keluar. Kemudian dia bertanya ke bhikkhu Thai temannya, kenapa mereka berdoa dengan jari begitu? Temannya menjawab, karena mereka tidak menaati salah satu peraturan dari lima sila itu. Ini hanyalah tradisi orang Thai yang sebenarnya tidak benar.

Seorang Buddhis yang benar harus tetap patuh pada perjanjiannya.

Kebetulan waktu ini kan waktu “Pho-Tho” bulan Juli menurut penanggalan Tiongkok. Banyak orang Singapura yang masih sembahyang besar-besaran untuk “hantu”. Ada orang bertanya mengenai “Pho-Tho” kepada Ajahn Brahm.

Kata Ajahn, sebenarnya sembahyang “Pho-Tho” ini asal usulnya juga dari Ajaran Sang Buddha, hanya Ajaran itu telah direformasi.

Ceritanya ada tertulis dalam Sutta agama Buddha. Konon di masa kehidupan Sang Buddha, ada seorang raja di India yang bermimpi buruk dimana dia didatangi makhluk-makhluk halus yang menderita memohon-mohon padanya dengan sedih dan iba sekali.

Raja ini sangat gelisah setelah mimpi ini sehingga dia berkunjung kepada Sang Buddha memohon petunjuknya. Sang Buddha dengan kekuatannya tahu mengenai hal ini, Beliau berkata kepada raja itu bahwa mereka itu adalah orang-orang yang dihukum mati oleh raja ataupun raja sebelumnya. Karena mereka mati dengan penasaran, mereka menjadi gentayangan, tidak mau “let go” dengan dunia ini.

Raja yang bijaksana, berdana lah kepada orang-orang yang pantas menerima danamu. Keesokan harinya Raja membagi-bagi makanan dan pakaian kepada semua rakyatnya. Rakyatnya semua sangat gembira dan bersyukur dan berdoa atas kebahagiaan Raja. Sejak itu Raja itu tidak pernah bermimpi buruk lagi.

Cerita kedua adalah mengenai salah seorang murid utama Sang Buddha yang bernama Mogallana. Ibu Mogallana meninggal dunia. Mogallana sebagai anak berbakti ingin mengetahui keadaan ibunya, karena dia tahu pada masa hidupnya ibunya itu bukanlah seorang Buddhis, ibunya suka mencaci maki dan marah-marah terus pada siapapun termasuk pada Sang Buddha dan pengikutnya. Waktu itu Mogallana sudah mencapai kesucian dan mempunyai kekuatan menembus ruang dan alam, sehingga dia berhasil menemukan ibunya di alam kelaparan. Dia merasa kasihan sekali kepada ibunya, sedangkan ibunya tidak mengenal dia.

Dia melihat ibunya kelaparan, dan segera dia memberi makanan yang memang sudah disediakan kepada ibunya. Tetapi begitu ibunya makan, segera makanan itu menjadi bara api di kerongkongannya. Ibunya menjerit-jerit kesakitan dan segera Mogallana memberi ibunya minuman tetapi sama juga minuman itu juga menjadi bara api begitu masuk ke mulutnya.

Mogallana dengan segera upaya menolong ibunya tidak berhasil. Akhirnya dia pergi mencari Sang Buddha untuk memohon petunjuknya. Sang Buddha tahu akan kejadian ini juga dan berkata pada Mogallana, cepatlah kamu berdana memberi makan kepada orang suci agung atas nama ibunda mu.

Pada waktu kehidupan Sang Buddha, tentu saja tidak sukar mencari orang suci / Arahat, jadi Mogallana secepat mungkin mengumpulkan bhikkhu-bhikkhu lain yang juga temannya dan berdana ke mereka. Setelah itu mereka bersama-sama memanjatkan paritta untuk mentransfer kebaikan Mogallana kepada ibunya yang berada di alam kelaparan. Akhirnya ibunya terbebas dari alam kelaparan dan dilahirkan kembali di alam Surga Tusita.

Cerita ketiga adalah mengenai murid utama Sang Buddha yang lainnya (lupa namanya, entah Upali atau siapa). Pada suatu malam, sewaktu Upali bermeditasi di vihara dia mendengar suara dan tangis isakan seseorang. Setelah diteliti ternyata itu berasal dari seorang mahkluk halus di luar vihara. Hantu ini sedang memohon pada dewa penjaga pintu untuk membiarkan dia masuk menemui anaknya. Begitu Upali keluar, makhluk ini berkata kepada Upali, jangan melihat ke depan anakku, saya tidak memakai apa-apa, saya kotor! dan orang suci seperti kamu tidak pantas melihat saya. Tetapi saya memohon kepadamu anakku, tolonglah ibumu ini supaya terbebas dari kesengsaraan ini. Upali sangat terkejut mendengar perkataan makhluk ini. Tetapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, makhluk ini sudah hilang. Pikiran Upali sangat terganggu oleh kejadian ini, karena ibunya belum meninggal dunia, kenapa makhluk ini berkata padanya bahwa dia adalah ibunya.

Seperti biasanya, Upali pergi mencari Sang Buddha memohon petunjuk. Sang Buddha berkata, Upali, ia benar adalah ibumu, tetapi ibu dari kehidupan lalu. Dia menderita karena karmanya, dan sekarang telah tiba karmanya bertemu denganmu yang telah menjadi orang suci. Cepatlah membuat jubah dan berdana lah kepada orang yang pantas supaya dia berpakaian kembali.

Karena pada masa itu, benang saja sukar diperoleh, apalagi kain lebih sulit lagi. Jadi dengan susah payah Upali mengumpul kain-kain kecil dari rakyat-rakyat di desa yang mereka diami, dan dia jahit jadi jubah dan berdana kepada bhikkhu-bhikkhu yang menjadi temannya.

Dan kemudian bersamaan mereka memanjat paritta (doa) menyalurkan jasa perbuatan baik pada ibunya pada kehidupan yang terdahulu, dan ibunya terlahir kembali entah di alam mana, saya lupa.

Pasti orang bertanya, mengapa bhikkhu-bhikkhu itu bisa mentransfer / menyalurkan jasa perbuatan baik kepada makhluk lain dengan mudah? Jawabannya karena pada masa kehidupan Sang Buddha, bhikkhu-bhikkhu yang ada pada masa itu benar-benar suci dan sudah mencapai Arahat.

GODS OR DEWA:

Ada seorang anak muda dari Amerika. Dia selalu suka jadi sukarelawan di panti-panti jompo atau di vihara. Sampai pada suatu hari dia berkata kepada temannya bahwa dia ingin menjadi seorang bhikkhu (pendeta Buddha). Bagaimana caranya? Temannya berkata pergilah kamu berdana kepada bhikkhu dan tanya lah dia bagaimana cara menjadi bhikkhu.

Pergi lah si anak ini ke vihara. Dia bertemu dengan seorang bhikkhu. Bhikkhu ini bertanya ada yang bisa saya bantu? Kebetulan Bhikkhu juga seorang berkebangsaan Amerika. Pada tahun 70-an masih sedikit bhikkhu orang kulit putih. Kata pemuda itu, saya ke sini mau berdana dan mau jadi bhikkhu, bagaimana caranya? Bhikku itu tersentak dan dia tahu pemuda ini ikhlas.

Bhikkhu itu berkata, pergilah kamu ke Thailand. Di sana ada Monastery International yang menerima kita para orang asing untuk berlatih. Jadi berangkatlah pemuda ini ke Thailand, sampai di Bangkok Airport jam 2 pagi tapi dia tidak tahu pasti alamat Monastery itu. Jadi dia pergi dengan naik taksi. Setelah perjalanan cukup jauh, sampailah ia di depan Monastery itu, waktu itu masih dini sekitar jam 3 lebih. Taksi itu pergi saja begitu mengantarnya. Ternyata Monastery itu belum terbuka, semuanya masih gelap gulita. Ketika dia mengamati pintunya, tiba-tiba tercium harum wangi.

Kemudian berbalik badan melihat seorang bapak tua dengan pakaian adat Thai berdiri di belakangnya. Bapak itu bertanya dengan bahasa Inggris yang fasih, ada yang bisa saya bantu? Pemuda ini sangat gembira sekali, karena untuk pertama kalinya di sini dia berjumpa dengan orang yang bisa berbahasa Inggris.

Pemuda ini menjawab, saya ke sini mau berdana dan menjadi bhikkhu. Bapak itu tersenyum dan menjawab, hari masih dini, belum ada yang bangun, mari saya antar kamu masuk ke dalam.

Dan bapak ini meraba kantongnya mengeluarkan kunci yang sudah usang dan membuka pintu samping monastery itu. Kemudian dia membawa pemuda ini ke sebuah ruang besar, menghidupkan lampu-lampu di ruang itu. Di sana ada patung-patung Buddha dan beberapa lukisan yang kelihatan sudah tua. Bapak itu menceritakan tentang sejarah lukisan-lukisan yang berada di ruang itu kepada pemuda tersebut dengan bahasa Inggris yang fasih sekali. Tak terasa subuh sudah sampai, bapak itu berkata pada pemuda itu:

“Mari saya antar kamu ke ruang tempat para bhikkhu menerima dana makan. Setelah sampai di sana, bapak itu berkata, tunggulah di sini kepala biara akan segera keluar, dan bapak itu berjalan keluar.

Begitu kepala biara itu keluar, dia terperanjat melihat pemuda ini. Karena dia tidak bisa berbahasa Inggris, dia segera mencari murid kulit putih lainnya.

Pemuda ini menjelaskan bagaimana dia bisa masuk ke vihara dan menunggu di sana.

Kepala biara terperanjat, karena di dalam vihara mereka tidak pernah ada bapak yang dikatakan pemuda itu, lagipula hanya kepala biara dan wakilnya yang ada kunci pintu itu. Dia juga terperanjat karena pemuda itu tahu sejarah lukisan-lukisan itu, sementara orang-orang yang bermukim lama di sana saja sudah tidak tahu menahu tentang sejarah itu. Setelah pemuda itu menjelaskan ciri-ciri khas orang itu, ternyata baju adat itu seperti baju Raja Thailand yang dulu.

Segera mereka membawa pemuda itu untuk melihat sebuah lukisan seseorang. Pemuda itu berkata: “Yes! This is the man who helped me this morning.” Segera mereka mengerti bahwa bapak itu ternyata Raja Thailand dulu yang sudah meninggal dunia dan menjadi Dewa. Karena keikhlasan dan kesucian hati dari pemuda ini, dewa pun menolongnya.

Cerita kedua tentang Dewa adalah dari pengalaman senior saya di Thailand. Pada masa saya dulu, bhikkhu-bhikkhu banyak yang berniat ke India, tempat asal usul agama Buddha. Mereka berjalan dari Thailand ke India, perlu waktu satu tahun. Banyak yang tidak berhasil, atau meninggal karena perjalanan yang berbahaya dalam hutan liar, ataupun tersesat. Senior saya, seorang bhikkhu yang sangat saleh bercerita tentang pengalamannya. Dia sudah berhasil sampai ke India.

Tetapi dalam perjalanan pulangnya sekitar 4 hari sebelum mencapai Thailand dia sudah kehabisan tenaga, karena sudah hampir seminggu dia belum menemukan makanan untuk mengisi perutnya. Akhirnya dia terjatuh di jalan, dari kejauhan dia nampak seorang berpakaian rapih dan bersih seperti orang kota membawa rantangan makanan berjalan ke arahnya.

Orang itu menderma makanannya kepada senior saya itu. Senior saya heran bagaimana orang ini bisa tahu kalau ada bhikkhu yang menunggu dana makanan. Karena bhikkhu tidak boleh bertanya asal usul makanan dari seorang pemberi, senior saya hanya menerima dan memakan makanan itu. Tetapi begitu dia membuka rantang makanan, dia terperanjat dengan isi makanan itu karena semuanya berisi sayuran yang bagus-bagus adat Thai seperti yang dijual di restoran. Senior saya tidak tahan untuk tidak bertanya.

Sehingga dia berkata kepada orang itu: “Maafkanlah saya untuk bertanya, dari manakah kamu berasal sehingga kamu tahu kalau di sini ada seorang bhikkhu yang sedang menunggu dana makan?” Orang itu hanya tersenyum dan menunjuk ke atas langit.

Cerita lain tentang dewa adalah pengalaman saya sendiri. Sewaktu saya berada di Thailand, sudah biasa seorang bhikkhu berjalan kaki dari suatu tempat ke tempat lain.

Suatu waktu, karena saya berjalan melewati banyak hutan yang tidak ada penduduknya, saya tidak menerima makanan maupun minuman. Sebagai seorang bhikkhu, sudah menjadi peraturan untuk hanya makan atau minum dari pemberian orang, tidak boleh meminta. Pada saat itu matahari terik sekali dan sudah 2 hari saya berjalan tidak makan atau pun minum. Kemudian tibalah saya di sebuah desa. Sewaktu saya berjalan di pintu desa, dari kejauhan saya sudah melihat ada warung dimana beberapa orang duduk sambil mengobrol.

Saya melihat ada iklan Coca-Cola. Sewaktu saya melewati warung itu, sebagai seorang bhikkhu saya tidak boleh melihat ke sana ke mari, apalagi meminta minum kepada mereka, jadi pandangan mata saya tetap menunduk ke bawah. Mereka sepertinya tidak menghiraukan saya. Kemudian saya berpikir dan berkata dalam hati, kalau benar ada DEWA yang menolong bhikkhu yang baik seperti yang tertulis dalam Sutta Pitaka, tunjukkanlah kepadaku sekarang juga keberadaan dewa itu. Kemudian saya berusaha konsentrasi dengan jalan saya sampai kira-kira setelah 9 meter saya berjalan, saya mendengar ada orang berlari-lari ke arah saya dan berteriak dengan bahasa Thai yang artinya persembahan dana makan untuk bhikkhu. Ternyata seorang wanita membawa Coca-Cola untuk saya, kemudian diikuti teman-temannya yang lain.

Kemudian saya duduk di bangku di tepi jalan. Kemudian saya minum Coca-Cola yang berada di sampingku, 9 botol! Dan berpikir, Wah! DEWA benar ada, dan bukan hanya satu, mereka benar-benar mau menunjukkan bahwa DEWA itu ada!

DEMON ATAU IBLIS

Apakah Demon itu ada? Well, ini cerita tentang seorang wanita penganut Buddhis juga. Wanita ini sangat taat pada sila-sila yang dia ucapkan. Dia juga seorang yang aktif dalam kegiatan Buddhis. Pada kehidupan pribadinya, dia termasuk seorang sukses dalam bisnis jadi banyak yang iri padanya. Mungkin karena iri, salah satu orang yang dikenalnya bermaksud tidak baik padanya.

Dia tidak mengetahui kalau ada yang mau berniat buruk padanya. Tetapi dia bisa merasakan kalau ada sesuatu yang terus mengikutinya dan berusaha mengganggunya. Dia merasa tidak nyaman. Kebetulan pada hari Minggu itu seperti biasanya dia pergi ke vihara. Begitu di vihara, dia merasa nyaman kembali. Tetapi dia sempat mencari bhikkhu di vihara untuk menceritakan tentang rasa tidak nyaman yang dialaminya akhir-akhir ini. Bhikkhu ini segera tahu kalau ada sesuatu yang tidak wajar terjadi, jadi bhikkhu inipun membawa beberapa murid-muridnya mengikuti wanita ini ke rumahnya.

Segera saja, bhikkhu itu mengetahui kalau ada DEMON di rumah wanita itu.

Setelah membacakan paritta, bhikkhu itu menyuruh DEMON tersebut untuk mewujudkan rupanya. Bhikkhu ini bertanya: “Why do you want to hurt this woman? Have she ever hurted you before in anyway?”

Demon itu berkata: “Saya disuruh oleh seseorang untuk membunuhnya, saya sudah berusaha dengan berbagai cara untuk masuk ke tubuhnya tetapi gagal. Saya sedang menunggu kelemahannya.”

Bhikkhu itu berkata: “Wanita ini tidak dapat kamu lukai karena dia dilindungi oleh sila (perilaku dan moral) yang telah diperbuatnya. Kembalilah kamu ke alam yang seharusnya kamu berada.”

Demon itu berkata lagi: “Tidak, saya tidak bisa kembali dengan kegagalan. Kalau saya gagal dengan tugas saya, itu sama saja dengan kematian saya.”

Bhikkhu itu dengan kasih sayang berkata: “Bertobatlah Demon. Saya akan membacakan paritta untukmu sehingga dapat membantumu terlahir kembali di alam yang seharusnya kamu berada. Pergilah dengan sukarela.”

Dengan cerita ini, apakah saya telah menjawab pertanyaanmu tentang Demon? I hope so. Semua cerita yang saya ceritakan itu berdasarkan TRUE STORY yang saya dengar ataupun saya alami.

Now, seperti yang saya ceritakan pertama-tama. Di dunia ini ada satu hantu yang benar-benar mengerikan, bukan hanya bisa membunuh diri kita sendiri, tetapi juga bisa membunuh orang lain. Tahukah kalian hantu apakah itu?

Hantu itu namanya “Hantu Botol”. Dia tersimpan dalam botol. Sekali kamu bertemu botol itu dan membuka botol itu, hantu itu segera keluar dan ada yang mengakibatkan makin lama perut kamu semakin bulat dan besar.

Ini sebuah cerita yang diceritakan oleh seorang lelaki. Seperti biasanya lelaki ini suka pergi ke pub after work untuk minum-minum bersama dengan teman-temannya. Pada suatu malam dalam perjalanan pulang ke rumah, ada pemeriksaan lalu lintas di jalan yang akan dilewatinya. Dia melihat semua kendaraan berjalan dengan lambat dan segera ia mengetahui kalau di depan pasti ada pemeriksaan. Dia bermaksud untuk berputar balik mencari jalan lain karena dia tahu pasti bahwa dirinya tidak akan lulus dari pemeriksaan, angka alkohol di tubuhnya pasti sangat tinggi. Tetapi begitu menoleh ke belakang, sudah banyak mobil antri di belakangnya. Dia berpikir, ah, pasrah lah saya untuk menerima denda. Begitu sampai gilirannya, terdengar suara BUMP! (benturan) besar di depan. Polisi pemeriksa itu berkata: “There’s an accident in front, we have to go to check it. Count yourself lucky, just go ahead!”

Lelaki itu kegirangan karena dia pikir, wah, I’m really lucky this time.

Dengan gembira sekali dia mengendarai mobilnya pulang dan langsung tidur.

Keesokan paginya, dia terbangun oleh sirene mobil polisi. Kemudian terdengar bel pintunya berbunyi. Dia langsung berpikir, saya tidak melanggar peraturan kemarin, kenapa polisi itu datang ke rumah saya? Ah, sekarang alkohol saya pasti sudah menurun, kalaupun mau ditest sekarang saya tidak perlu takut. Dia segera bangun membuka pintu. Begitu melihat polisi kemarin, dia berkata, “Hello Sir, ada yang bisa saya bantu? ”

Polisi itu menjawab: “Yes, tolong bantu kami membuka pintu garasimu.”

Begitu dibuka, lelaki itu terperanjat melihat mobil di garasi bukanlah mobilnya, melainkan mobil polisi kemarin.

Sekarang dia bukan hanya menerima hukuman karena mabuk saja, tetapi juga hukuman karena mencuri.

Kalau Anda atau teman Anda suka minum minuman keras, segeralah nasehati mereka untuk menghentikan kebiasaan buruknya ini.

Alkohol bukan saja merusak kesehatan, dia juga banyak menghancurkan kehidupanmu, keluargamu, bahkan banyak kecelakaan lalulintas yang membunuh akibat alkohol.

Inilah yang saya maksudkan dengan the HORRIBLE GHOSTS!