Dendam Yang Sirna

Dendam Yang Sirna

Zhing membenci seseorang, dia juga mengatakan kepada anaknya yang berumur 5 tahun, “Seumur hidupmu engkau harus ingat sebuah nama Liang, dia adalah musuh kita berdua.”

Karena Liang, Zhing kehilangan suaminya, anaknya yang berumur 5 tahun kehilangan bapaknya.

Sebenarnya Liang, tidak bersalah, dia adalah petugas pemadam kebakaran tanpa sengaja menyebabkan suami Zhing terbunuh, sehingga dia harus dipenjara.

Liang ketika dibebaskan oleh pengadilan, dirinya berubah total, dia berhenti merokok dan minum minuman keras, lalu Liang datang meminta maaf kepada Zhing, dia berkata ingin membantu menyekolahkan anaknya.

Zhing ketika melihat Liang, seperti gila menarik bajunya dan memukulnya, memakinya sebagai pembunuh, dan akan mendapat karma, dia dan anaknya akan selalu mengingat dendam ini, dan akan membencinya seumur hidup. Akhirnya, menghadapi Zhing yang kehilangan akal sehat Liang tidak bisa berbuat apapun meninggalkan tempat itu.

Zhing setelah kehilangan suaminya ekonominya menjadi susah, akhirnya dia menikah lagi. Tetapi tidak berapa lama kemudian suami keduanya karena kecelakaan kakinya menjadi lumpuh, hanya bisa bekerja sebagai pedagang kaki lima menjual buah-buahan, perekonominya sekali lagi mengalami kesulitan.

Dia sendiri bekerja di sebuah pabrik makanan, setiap hari bekerja 10 jam lebih, hanya mendapat 6 Yuan saja, roda kehidupan yang susah ini membuat dia berputar bagaikan sebuah gasing, perlahan dia mulai melupakan dendamnya.

Zhing harus menyekolahkan anaknya, demi 3 kali makan setiap hari, dia bekerja sangat keras.

Anaknya di sekolah meminta bantuan keringanan, akhirnya mendapat orang tua asuh, setiap bulan mendapat bantuan 100 Yuan, jumlah ini bagi mereka sudah sangat membantu, dari uang bantuan yang ditransfer dapat di lihat bahwa orang yang membantunya berasal dari kota lain.

Ketika sudah 10 kali menerima transfer uangnya, Zhing beranggapan sudah seharusnya dia pergi ke kota mengucapkan terima kasih kepada orang yang membantunya ini, karena dia tidak kenal kepada orang yang membantunya, dia pernah pergi ke kota mengecek orang ini tetapi alamat dan nama orang ini adalah palsu.

Setiap bulan dia menerima uang bantuan ini, berjalan sampai 5 tahun, total keseluruhannya adalah 6.000 Yuan, anaknya sudah tamat SMP, sudah masuk ke SMA.

Kejadian bantuan yang demikian panjang ini menimbulkan minat media, seseorang yang tanpa nama membantu seorang murid terus menerus sampai 5 tahun, ini adalah sebuah berita besar.

Para wartawan di media berusaha mencari alamat orang tersebutnya, akhirnya ketemu, dia adalah seorang wanita paruh baya, seorang wanita penjual sayur yang wajahnya penuh kerut.

Wartawan menanyakan penjual sayur ini kenapa membantu menyekolahkan anak orang lain selama 5 tahun, perempuan ini tidak mau menjawab, atas desakan wartawan akhirnya wanita ini berkata, “ Saya bukan orang tua asuh, saya membayar hutang suami saya, ketika suami saya menjadi pemadam kebakaran tanpa sengaja menyebabkan bapak anak ini meninggal, sejak itu suami saya merasa bersalah, dia lalu sakit keras sebelum dia meninggal berpesan kepada saya membayar hutangnya walau bagaimanapun harus membantu anak ini.”

Wartawan bertanya kepada wanita ini, “Bagaimana engkau setiap bulan mendapatkan 100 Yuan membantu anak ini?” Wanita ini berkata,” Saya belajar menanam sayur, setiap hari membawa sayur yang saya tanam dijual ke kota, setiap bulan pendapatan saya 200 Yuan.”

Akhirnya wanita ini menambahkan, “Jangan biarkan mereka tahu masalah ini, saya ingin menyekolahkan anak ini sampai ke perguruan tinggi.”

Zhing setelah tahu uang bantuan tersebut berasal dari ‘musuhnya’, wanita yang seperti dia sendiri dengan susah payah menanam sayur dan menjualnya. Zhing berkata dia akan menemui wanita ini.

Zhing dan anaknya datang ke desa tempat kenangan pahit itu, sampai di rumah wanita penanam sayur ini, wanita ini melihat kedatangannya segera berlutut memohon maaf. Melihat kejadian ini Zhing dan anaknya segera memapah wanita ini berdiri, wanita ini berkata, “Saya mewakili suami saya meminta maaf kepada kalian berdua.”

Zhing menangis, dia memandang rumah reyot ‘musuhnya’ yang lantai rumahnya terbuat dari tanah liat melihat wajah penuh kerut wanita yang demi menolong anaknya sekolah bekerja susah payah menanam sayur, pada saat itu dia sangat terharu langsung berlutut dan berkata “Kakak”. Zhing memegang kedua tangan wanita yang sangat kasar ini, menangis dengan sedih.

Zhing sudah lama melupakan dendam tersebut, dia menarik tangan wanita ini berkata, “Bagaimana saya bisa membalas budi baikmu?” Zhing menyuruh anaknya berlutut mengetuk kepala ke lantai mengucapkan terima kasih kepada wanita ini. Akhirnya anak Zhing berkata, “Setelah saya tamat, saya akan mencari uang untuk membiayai mama dan tante, kalian jangan khawatir.” Setelah mendengar perkataan ini kedua wanita ini berpelukan sambil menangis dengan gembira.

Hukuman Paling Berat

Hukuman Paling Berat

Ketika tamat kuliah, saya mempunyai seorang teman kuliah yang sangat baik mendapatkan kesempatan kerja di sebuah perusahaan export import yang terkenal. Tak disangka, ayah saya lalu menggunakan hubungan relasi menempatkan saya untuk menggantikan tempat teman baik saya ini sehingga ia tidak bisa bekerja disana.

Disebabkan kehendak ayah yang sangat keras, saya tidak berani menentangnya, juga tak berani mengontak teman baik saya lagi tersebut. Saya percaya dia pasti sangat membenci saya.

Akhirnya saya mendapat kabar, bahwa dia ditempatkan disebuah kota kecil di sebuah perusahaan export import yang lebih kecil, gajinya jauh lebih kecil dari saya, setelah mendengar kabar itu hati saya semakin tidak enak.

Beberapa puluh tahun kemudian saya ditugaskan mengikuti seminar di luar negeri. Tidak disangka teman baik saya juga diundang, malahan kami berdua ditempatkan dalam satu kamar bersama.

Ternyata, dia sama sekali tidak marah atau mendendam, malahan dia menggenggam kedua telapak tangan saya dengan terharu berkata, ”Sudah tidak bertemu beberapa tahun, tidak sangka ya disini bisa bertemu dengan lagi.” Lalu dia mentraktir saya makan malam, sebagai perayaan karena sudah lama tidak bertemu, kami makan sambil mengobrol panjang lebar.

Setelah mengobrol cukup lama, saya sangat kagum kepada sifat pemaafnya yang tulus ikhlas dan sifat terpelajarnya. Malahan saya merasa sangat bersalah dan sangat malu kepada jiwa picik dan pikiran kotor saya sendiri.

Mulai saat itu saya mengerti, hukuman paling berat bukan dengan cacian menghina dan memukul sebagai balas dendam, tetapi adalah sifat pemaaf dan lapang dada yang tidak terbatas yang ditunjukkan seseorang yang pernah kita rugikan.

Apa yang Dilihat di Puncak Gunung

Apa yang Dilihat di Puncak Gunung

Dahulu kala, ditempat yang sangat jauh, ada seorang kepala suku sedang sakit keras. Lalu dia memanggil 3 pemuda gagah dan kuat serta paling berbakat yang ada dikampung itu, berkata kepada mereka, “Saya sudah akan meninggalkan dunia ini, saya menginginkan kalian melakukan hal yang terakhir untuk saya. Kalian bertiga adalah pemuda sehat, bertenaga, dan lebih pintar dari bijaksana dari semua penduduk yang ada dikampung ini. Sekarang, kalian pergilah mendaki gunung yang paling tinggi dan sakral, sebisa mungkin mendaki sampai ke puncak, lalu kalian kembali kesini memberitahu saya apa yang kalian lihat dan dengar?”

Tiga hari kemudian, salah satu dari ke tiga pemuda ini kembali, dengan tersenyum gembira, dan baju yang rapi dia berkata kepada kepala suku,”Kepala suku, saya telah sampai dipuncak gunung, saya melihat bunga-bunga tumbuh dengan indah, sumber air mengalir dengan jernih, suara kicauan burung terdengar dimana-mana, tempat itu lumayan juga!.”

Kepala suku dengan tertawa berkata, “Anakku, jalan yang engkau lalui dahulu juga pernah saya lalui, yang engkau katakan tempat yang penuh bunga dan kicauan suara burung bukan puncak gunung, itu adalah kaki gunung, sekarang engkau pulanglah!”

Sebulan kemudian, pemuda yang kedua juga sudah pulang, dia kelihatan sangat capek, wajahnya sangat kumuh.

“Kepala suku, saya sudah berada dipuncak gunung, saya melihat hutan yang penuh dengan pohon pinus, saya melihat burung elang berterbangan disana, itu adalah sebuah tempat yang bagus.”

“Sungguh sayang! Anakku, itu bukan puncak gunung, tetapi adalah pertengahan gunung. Maaf sudah menyusahkan kamu, sekarang kamu pulanglah!”

Setelah sebulan lagi berlalu, semua orang sudah mulai khawatir kepada pemuda ke tiga yang masih belum pulang, dia melangkah dengan tergopoh-gopoh, bajunya yang sudah compang-camping, bibirnya pecah-pecah, hanya kedua matanya memancarkan sinar yang cemerlang.

“Kepala suku, akhirnya saya sampai ke puncak gunung. Tetapi, harus bagaimanakah saya menceritakan keadaan disana? Disana hanya ada angin kencang yang menyedihkan, langit biru kelihatan diempat penjuru.”

“Apakah engkau disana sungguh tidak melihat apapun? Apakah disana tidak ada seekor kupu-kupupun?”

“Benar, kepala suku, diatas sana sama sekali tidak ada sesuatu. Yang dapat engkau lihat hanyalah dirimu sendiri, seperti “seseorang” yang diletakkan di tepi langit merasa diri sendiri sangat kecil.”

“Anakku, engkau sudah benar-benar sampai ke puncak gunung, menurut adat suku kita, engkau ditakdirkan menjadi penerus pemimpin suku kita, selamat anakku.”

Apa yang dialami oleh pahlawan sejati ini? Yang dia alami adalah sekujur tubuh yang luka, kesepian karena sendirian dalam perjalanan yang panjang, dan juga merasa dirinya semakin lama menjadi semakin kerdil karena berada di alam bebas yang tinggi yang tidak ada sesuatupun.

Antara Lidah Dan Sendok

Antara Lidah Dan Sendok
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera

Bagaikan lidah yang dapat merasakan setiap rasa sayur yang melewatinya, demikian pula orang bijaksana dapat mengerti Dhamma walaupun baru sejenak mengenalnya (Dhammapada Bala Vagga 65).

Di dalam Dhammapada dikatakan ada dua jenis perkenalan dengan Dhamma. Yang pertama adalah perkenalan biasa-biasa, selanjutnya tetap biasa-biasa saja. Diibaratkan seperti sendok. Sendok tidak pernah kepedasan. Tidak pernah begitu menyentuh lombok langsung berteriak kepedasan. Kenapa? Karena sendok tidak punya rasa. Menyendok sambal bisa, kuah juga mau. Apa saja boleh diambil dengan sendok. Menyendok yang baik dan menyendok yang jelek bisa pula. Sendok tidak bereaksi, karena dia tidak pernah merasakan rasa apapun yang menempel di tubuhnya.

Begitu juga dengan umat yang termasuk jenis ini. Datang ke vihara, ikut puja-bhakti, baca paritta, dan meditasi. Termasuk ngantuk dan melamunnya... Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, satu bulan, dua bulan, setahun, dua tahun sampai sepuluh tahun mengenal Dhamma tetapi masih tetap biasa-biasa.

Ketika ditanya, setelah mengenal Dhamma selama sepuluh tahun apakah masih emosi? Jawabnya, masih. Apakah setelah mengenal dhamma sudah bisa meditasi? Belum. Beginilah jenis yang pertama, selalu mengantarkan sayur ke dalam mulut, tapi tiada pernah merasakan.

Namun ada jenis perkenalan dengan Dhamma yang mulanya biasa-biasa, selanjutnya makin menggebu-gebu. Ibaratnya lidah. Lidah itu luar biasa. Seandainya satu butir nasi dimasukkan ke dalam hamburger yang kita makan, pasti kita akan dapat merasakan nasi itu. Karena lidah kita sudah terbiasa dengan rasanya, meskipun cuma satu butir. Itulah kehebatan lidah. Luar biasa.

Demikian pula dalam mengenal Dhamma. Menjadi umat Buddha bukan dilihat sudah berapa lama sudah jadi umat Buddha. Itu bukan jaminan. Tetapi, yang penting adalah sudah seberapa jauh kita merasakan nikmatnya Dhamma.

Sabbam rasam dhammaraso jinati. Dari seluruh rasa, rasa Dhammalah yang paling unggul (Dhammapada Tanha Vagga 354)

HANYALAH OBJEK

Sudahkah kita merasakan Dhamma? Sudahkah kita merasakan manfaat Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari?

Perkenalan dengan Dhamma kadang hanya sejenak, perkenalan dengan Dhamma kadang hanya sepintas, kesannya itu. Nah, kita termasuk lidah ataukah sendok?

Kalau salah satu dari kita setelah mengenal Dhamma langsung merasakan manfaatnya, maka berbahagialah dia. Karena dia adalah "lidah" yang bermanfaat. Tetapi kalau sampai sudah duduk capek, namakara sampai dahinya hafal, ketika ditanya mengenai Agama Buddha masih tidak mengerti, kita mesti memperbaikinya karena masih kualitas sendok.

Darimanakah kita bisa mendapatkan Dhamma? Sebetulnya Dhamma ada di dalam kehidupan kita sehari-hari. Dhamma bukan hanya ada di buku-buku. Dhamma bukan hanya yang dibagikan oleh para bhikkhu. Satu contoh, kalau kita pergi ke vihara lalu melihat Buddharupang, maka itu sebetulnya adalah pelajaran Dhamma. Banyak orang yang sudah bernamakara berkali-kali kepada Sang Buddha tetapi nggak mengerti maksudnya. Kebiasaan? Wah, itu salah total.

Kebiasaan sebetulnya sering menimbulkan penyimpangan. Pernah di sebuah vihara terdapat kebiasaan aneh, setiap puja-bhakti harus ada anjing hitam yang diikat di bawah pohon bodhi di halaman vihara. Padahal, asal mulanya hanya karena bhikkhu kepala vihara senang memelihara anjing hitam dan selalu mengikatnya ketika sang bhikkhu melaksanakan puja-bhakti. Ketika bhikkhu kepala vihara meninggal, kebiasaan itu diteruskan tanpa tahu alasannya.

Itulah kebiasaan yang menyimpang. Kita juga sering begitu. Ketika ditanya, kenapa bernamakara? Biar dapat berkah sang Buddha? Oh....

Tidak ada pelajaran dalam Agama Buddha yang mengatakan bahwa dengan namakara bisa dapat berkahnya Sang Buddha. Tidak ada. Kita bernamakara, Sang Buddha tidak tersenyum. Kita tidak namakara, Sang Buddha tidak apa-apa. Tetapi bernamakara atau tidak, itu berhubungan dengan diri kita sendiri.

Pada saat kita bernamakara, sebetulnya pikiran, ucapan, dan perbuatan kita diarahkan kepada hal positif. Kita berusaha berkonsentrasi sehingga bernamakara tiga kali. Dengan bernamakara, kita membutuhkan waktu minimal setengah sampai satu menit untuk punya pikiran, ucapan, dan perbuatan benar. Kalau tiap hari melakukan kegiatan namakara, maka dalam satu bulan kita bisa punya tiga puluh menit pikiran, ucapan dan perbuatan benar. Satu tahun tiga ratus enam puluh menit.

Makin banyak kita namaskara, makin banyak kita menanam kamma baik. Patung Sang Buddha hanyalah sebagai obyek, sasaran, atau sarana kita untuk menanam pikiran, ucapan dan perbuatan benar. Begitu pula bernamakara pada seorang bhikkhu. Itu bukan namakara buat bhikkhunya. Bukan namakara sama jubahnya. Tetapi bhikkhunya sebagai obyek untuk menanam kamma baik lewat pikiran, ucapan dan perbuatan.

Ketika kita bernamakara pada Buddharupang, yang posisinya bumisparsa mudra, sebetulnya ini menunjukkan bahwa kita harus bertekad jangan sampai patah semangat sebelum mencapai cita-cita. Apapun yang menghalangi harus kita hadapi untuk mencapai tujuan akhir. Sebelum cita-cita tercapai jangan pantang mundur. Sekolah mau men-DO, tidak bisa. Kita harus berjuang keras sampai tidak ada kesempatan men-DO kita.

Kita harus bertekad, harus teguh, harus kuat. Kenapa? Karena kita melihat contohnya, Sang Buddha guru kita. Kalau guru kita berani bertekad kuat tidak akan beranjak dari meditasinya sebelum mencapai cita-cita (kesucian -red), maka kita pun juga sebagai murid-muridnya harus bisa. Ini adalah salah satu mudra. Ada banyak mudra, tapi yang diterangkan hanya satu mudra. Supaya kita sebagai umat Buddha tidak ada kata patah semangat. Harus selalu bersemangat. Kalau punya cita-cita, tetaplah teguh. Seperti yang dilakukan Sang Buddha.

SEKOLAH KEDUKUNAN

Lalu soal baca paritta. Tidak jarang di antara kita ada yang mau membaca paritta untuk hal yang aneh-aneh.
Bhante, paritta apa supaya tidak digigit anjing? Baca saja "Semoga semua makhluk hidup berbahagia." Kalau supaya nggak dicopet? "Semoga semua makhluk hidup berbahagia." Itulah parittanya.

Kenapa? Kadang-kadang kita suka aneh-aneh. Supaya tidak digigit anjing pakai paritta ini, agar tidak dicopet baca paritta itu. Jadinya kita seperti menghapal "mantra-mantra". Seperti sekolah kedukunan saja. Padahal Agama Buddha bukan begitu.

Sebenarnya membaca paritta juga mengarahkan kita supaya punya pikiran baik, ucapan baik, dan perbuatan baik. Sama seperti namakara tadi. Ini kalau kita tidak mengerti artinya. Tapi kalau mengerti, lain lagi.

Misalnya dalam paritta Abhinhapaccavekkhana disebutkan aku akan mengalami usia tua, aku belum bisa mengatasi usia tua, aku akan mati, dan aku belum bisa mengatasi kematian. Berarti kita bisa tua dan bisa meninggal. Padahal sekarang masih muda, masih belum meninggal. Mumpung masih muda, masih belum meninggal, kita harus mengembangkan kebaikan, belajar banyak paritta, belajar Dhamma, dan melaksanakannya dengan baik. Semangat hidup akan muncul untuk memanfaatkan setiap momen kehidupan dalam mengembangkan diri.

Inilah salah satu manfaat menjadi "lidah-lidah" Dhamma. Sebagai lidah, kita langsung bisa merasakan rasa asin, manis, dan asam. Demikian pula sebagai umat Buddha, walaupun baru sekali kita mengenal Dhamma tetapi kalau kita mengerti intinya bahwa Dhamma adalah pembawa semangat kehidupan, sehingga tidak akan pernah ragu, tidak pernah patah semangat, maka hidup kita akan selalu diisi dengan prestasi, hasil gemilang dari usaha dan perjuangan kita.

Jadilah lidah yang baik. Janganlah menjadi sendok yang tidak pernah mengetahui rasa makanan. Sehingga biar hanya sebentar ngenal Dhamma, bisa memanfaatkannya dengan baik. Semoga kita berbahagia di dalam Dhamma. Semoga semua makhluk baik yang tampak maupun yang tidak tampak memperoleh kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan kondisi kammanya masing-masing.

Hidup Di Dunia Dengan Dhamma

Oleh : Venerable Ajahn Chah

Ajahn ChahKebanyakan orang masih saja tidak mengetahui inti dari latihan meditasi. Mereka mengira meditasi berjalan, meditasi duduk dan mendengarkan khotbah Dhamma itulah yang disebut berlatih. Itu ada benarnya juga, tetapi hal-hal ini hanyalah penampilan luar saja dari latihan. Latihan yang sebenarnya akan terjadi pada saat pikiran bertemu dengan objek-objek indera. Itulah tempat untuk berlatih, di mana kontak dengan indera terjadi. Bila orang-orang mengatakan hal-hal yang tidak kita sukai, maka akan ada kebencian, jika mereka mengucapkan kata-kata yang kita sukai, maka kita pun senang. Sekarang, di sinilah tempat untuk berlatih. Bagaimana kita akan berlatih dengan hal-hal semacam ini? Ini adalah titik yang sangat penting. Jika kita hanya berlari ke sana ke mari sambil mengejar kebahagiaan dan menghindar dari penderitaan di setiap saat, kita bisa saja berlatih hingga hari kematian kita, namun kita takkan pernah melihat Dhamma. Tidak ada gunanya. Ketika kesenangan dan kesengsaraan muncul, bagaimana kita akan menggunakan Dhamma untuk membebaskan diri dari mereka? Inilah tujuan dari latihan.


Biasanya, ketika orang berhadapan dengan sesuatu yang tidak sejalan dengan mereka, mereka tidak akan membuka diri terhadapnya. Seperti ketika orang dikritik: “Jangan ganggu saya! Mengapa menyalahkan saya?” Ini adalah seseorang yang telah menutup dirinya sendiri. Tepat di sanalah tempat untuk berlatih. Ketika orang mengkritik kita, kita seharusnya mendengarkannya. Apakah mereka berkata benar? Kita seharusnya terbuka dan mempertimbangkan apa yang mereka katakan. Mungkin ada tujuan di balik kata-kata mereka, barangkali memang ada sesuatu yang salah pada diri kita. Mereka mungkin saja benar namun kita dengan cepat menjadi tersinggung. Jika orang menunjukkan kesalahan kita, kita seharusnya berusaha untuk menghilangkan kesalahan tersebut dan memperbaiki diri kita sendiri. Beginilah caranya orang-orang yang cerdas akan berlatih.

Di mana ada kebingungan, maka di sana pula kedamaian bisa muncul. Bila kebingungan ditembus dengan pengertian, yang tersisa adalah kedamaian. Beberapa orang tidak bisa menerima kritik, mereka arogan. Mereka malah berbalik dan berdebat. Hal ini terjadi khususnya ketika orang-orang dewasa berhadapan dengan anak-anak. Sebenarnya, kadangkala anak-anak mungkin mengatakan beberapa hal yang cerdas, tetapi jika, katakanlah, kalian menjadi ibu mereka, kalian tak ingin menyerah begitu saja kepada mereka. Jika kalian adalah seorang guru, kadang-kadang murid-murid kalian mungkin mengatakan sesuatu yang tidak kalian ketahui, tetapi karena kalian adalah sang guru, maka kalian tidak mau mendengar. Ini bukanlah pemikiran yang benar.

Pada zaman Sang Buddha dulu, ada seorang murid yang sangat cerdas. Pada suatu waktu, ketika Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma, beliau berpaling kepada bhikkhu ini dan bertanya, “Sariputta, apakah kamu mempercayai ini?” Yang Mulia Sariputta menjawab, “Belum, saya belum mempercayainya.” Sang Buddha memuji jawabannya. “Bagus sekali, Sariputta, engkau adalah orang yang diberkahi dengan kebijaksanaan. Seseorang yang bijaksana, tidak langsung percaya, dia mendengarkan dengan pikiran yang terbuka dan kemudian mempertimbangkan kebenarannya sebelum mempercayai atau tidak mempercayainya.”

Sekarang, di sini Sang Buddha telah memberikan contoh yang baik sebagai seorang guru. Apa yang dikatakan Yang Mulia Sariputta adalah benar, beliau hanya mengutarakan perasaannya yang sebenarnya. Beberapa orang akan berpikir bahwa untuk mengatakan kalian tidak percaya pada ajaran itu berarti sama seperti tidak menghormati guru tersebut, mereka takut mengatakan hal-hal semacam ini. Mereka hanya setuju dan menerima begitu saja. Beginilah jalan duniawi itu adanya. Tetapi Sang Buddha tidak tersinggung. Beliau mengatakan bahwa kalian tidak perlu merasa malu terhadap hal-hal yang tidak salah atau buruk. Tidak ada salahnya jika kalian berkata bahwa kalian tidak percaya kalau memang kalian tidak mempercayainya. Itulah sebabnya mengapa Yang Mulia Sariputta berkata, “Saya belum mempercayainya.” Sang Buddha memuji beliau. “Bhikkhu ini memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Dia mempertimbangkan dengan teliti sebelum mempercayai apa pun.” Tindakan Sang Buddha di sini merupakan suatu contoh yang baik untuk mereka yang menjadi guru bagi yang lain. Kadangkala kalian bisa belajar sesuatu bahkan dari seorang anak kecil; jangan secara membuta melekat begitu saja pada posisi-posisi dalam hirarki kekuasaan.

Apakah kalian sedang berdiri, duduk, atau berjalan di berbagai tempat, kalian selalu dapat mempelajari hal-hal di sekitar kalian. Kita belajar dengan cara yang alamiah, bersifat terbuka pada segala sesuatunya, apakah mereka berupa penglihatan-penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa kecapan, perasaan ataupun pikiran-pikiran. Orang yang bijaksana mempertimbangkan mereka semua. Di dalam latihan yang sebenarnya, kita menuju pada suatu titik di mana tiada lagi kekhawatiran apa pun di dalam batin.

Jika kita masih tetap tidak mengetahui rasa suka dan tidak suka begitu mereka muncul, itu artinya masih ada kekhawatiran di dalam batin kita. Jika kita tahu kebenaran dari semua ini, kita merenungkan, “Oh, perasaan suka ini tidak ada apa-apanya. Ia hanyalah perasaan yang muncul dan pergi begitu saja. Ketidaksukaan itu tidak lebih dari suatu perasaan yang muncul dan pergi. Mengapa menganggap seolah-olah mereka itu ada?” Jika kita mengira bahwa kesenangan dan kesengsaraan adalah milik pribadi, maka kita akan menghadapi masalah, kita takkan pernah keluar dari titik di mana kita mengalami kekhawatiran atau yang lainnya, di dalam suatu mata rantai yang tidak terputus. Beginilah keadaannya bagi kebanyakan orang.

Tetapi pada zaman sekarang, orang-orang tidak begitu sering membicarakan tentang batin ketika sedang mengajarkan Dhamma, mereka tidak membicarakan tentang kebenaran. Jika kalian berbicara tentang kebenaran, orang bahkan akan menyangkalnya. Mereka mengatakan hal-hal seperti, “Dia tidak tahu waktu dan tempat, dia tidak tahu bagaimana cara berbicara yang sopan.” Tetapi orang-orang seharusnya mendengarkan kebenaran. Guru yang sejati tidak hanya berbicara dari ingatannya saja, tetapi dia juga mengatakan kebenaran. Orang-orang di dalam masyarakat umum biasanya berbicara dari ingatan mereka saja, tetapi sebaliknya guru yang sejati berbicara tentang kebenaran. Orang-orang di dalam masyarakat umum biasanya berbicara dari ingatan mereka, dan yang lebih parah lagi mereka biasanya berbicara untuk memuja-muji diri mereka sendiri. Bhikkhu yang sejati tidaklah berbicara seperti itu, dia mengatakan kebenaran, tentang sifat-sifat sejati dari segala sesuatunya.

Tidak peduli sekeras apa pun usahanya untuk menjelaskan tentang kebenaran, sungguh sulit bagi orang-orang untuk memahaminya. Sungguh sulit untuk memahami Dhamma. Jika kalian memahami Dhamma, kalian seharusnya mempraktekkannya. Mungkin tidak perlu menjadi bhikkhu, walaupun kehidupan seorang bhikkhu adalah bentuk yang ideal untuk berlatih. Untuk benar-benar berlatih, kalian harus meninggalkan segala kebingungan di dunia ini, melepaskan keluarga dan harta milik, dan pergi ke hutan-hutan. Inilah tempat yang ideal untuk berlatih.

Tetapi jika kita masih memiliki keluarga dan tanggung jawab, bagaimana kita bisa berlatih? Beberapa orang bilang tidak mungkin mempraktekkan Dhamma selagi masih menjadi umat awam. Pertimbangkan hal ini, kelompok mana yang lebih besar, bhikkhu atau umat awam? Umat awam jauh lebih banyak. Sekarang, jika hanya bhikkhu-bhikkhu saja yang berlatih dan umat awam tidak, lalu itu artinya akan ada begitu banyak kebingungan. Ini adalah pemahaman yang salah. “Saya tak bisa menjadi bhikkhu…” Menjadi seorang bhikkhu bukanlah tujuan sebenarnya! Menjadi bhikkhu tidak mempunyai arti sama sekali jika kalian tidak berlatih. Jika kalian benar-benar memahami praktek Dhamma, maka tak peduli apa pun jabatan atau pekerjaan kalian sehari-hari, apakah itu guru, dokter, pegawai sipil atau apa pun itu, kalian dapat mempraktekkan Dhamma di setiap saat.

Untuk berpikir bahwa sebagai umat awam, kalian tidak bisa berlatih, itu artinya kalian telah kehilangan arah sama sekali. Mengapa orang-orang bisa punya motivasi untuk melakukan hal-hal yang lain? Jika mereka merasa kekurangan sesuatu, mereka berusaha untuk mendapatkannya. Jika ada keinginan yang cukup, orang dapat melakukan apa pun. Beberapa orang bilang, “Saya belum ada waktu untuk mempraktekkan Dhamma.” Saya katakan, “Lalu bagaimana kalian bisa mempunyai waktu untuk bernafas?” Bernafas itu sangat penting bagi kehidupan manusia. Jika mereka memandang praktek Dhamma sama pentingnya dengan hidup mereka, maka mereka juga akan memandang Dhamma sama pentingnya dengan nafas mereka.

Praktek Dhamma bukanlah sesuatu yang harus kalian kelilingi sambil berlari-lari atau sesuatu yang akan menghabiskan seluruh tenaga kalian. Perhatikan saja perasaan-perasaan yang muncul di dalam pikiran kalian. Bila mata melihat bentuk-bentuk, telinga mendengar suara-suara, hidung mencium aroma-aroma dan seterusnya, mereka semua bergerak menuju pikiran yang menyatu ini, “yang mengetahui.” Sekarang, ketika pikiran mengamati hal-hal ini, apa yang terjadi? Jika kita menyukai objek tersebut, kita akan merasa senang, jika kita tidak menyukainya, kita merasa tidak senang. Itu saja mereka adanya.


Jadi, di manakah kalian akan menemukan kebahagiaan di dunia ini? Apakah kalian mengharapkan agar setiap orang mengucapkan hanya kata-kata yang menyenangkan kalian saja sepanjang hidup kalian? Mungkinkah itu? Tidak, itu tidak mungkin. Jika tidak mungkin, lalu apa yang akan kalian lakukan? Dunia memang seperti ini, kita harus mengetahui dunia – lokavidu – mengetahui kenyataan dari dunia ini. Dunia adalah sesuatu yang seharusnya kita pahami dengan jelas. Sang Buddha hidup di dunia ini, beliau tidak hidup di tempat lain. Beliau menjalani kehidupan berkeluarga, tetapi beliau melihat keterbatasannya dan melepaskan diriNya dari mereka. Sekarang, bagaimana kalian sebagai umat awam, akan berlatih? Jika kalian ingin berlatih, kalian harus berusaha untuk mengikuti sang jalan. Jika kalian berusaha dengan tekun untuk berlatih, kalian juga akan melihat keterbatasan dunia ini dan akan mampu untuk melepaskannya.

Orang yang minum alkohol kadang-kadang berkata, “Saya tidak bisa melepaskannya.” Mengapa mereka tidak bisa melepaskannya? Karena mereka belum melihat kerugian yang ada di dalamnya. Jika mereka melihat dengan jelas kerugiannya, mereka tak akan menunggu hingga disuruh untuk melepaskannya. Jika kalian tidak melihat kerugian dari sesuatu, itu berarti kalian juga tidak dapat melihat manfaat dari melepaskannya. Latihan kalian menjadi sia-sia, kalian hanya bermain-main dengan latihan. Jika kalian melihat dengan jelas kerugian dan manfaat dari sesuatu, kalian tidak perlu lagi menunggu orang lain untuk memberitahukan kalian tentangnya. Coba renungkan cerita mengenai nelayan yang menemukan sesuatu pada jaring penangkap ikannya. Dia tahu ada sesuatu di sana, dia bisa mendengarnya menggelepar di dalam. Menyangka bahwa ia adalah ikan, dia menjulurkan tangannya ke dalam jaring, tetapi hanya menemukan jenis hewan yang lain. Dia belum bisa melihatnya, jadi dia menjadi ragu-ragu. Di tangan yang satu mungkin ikan belut (note: ikan belut dianggap sebagai makanan yang lezat di beberapa daerah di Thailand), tetapi lagi-lagi ia bisa saja seekor ular. Jika dia membuangnya, dia mungkin akan menyesalinya… ia bisa saja seekor ikan belut. Di pihak lain, jika dia terus memegangnya dan jika ternyata ia adalah seekor ular, ia bisa menggigit dirinya. Dia terjebak di dalam keragu-raguan. Nafsu keinginannya begitu kuat sehingga ia terus memegangnya, kalau-kalau saja ia adalah ikan belut, tetapi begitu dia mengangkatnya dan melihat kulit yang bercorak loreng-loreng, dia langsung melemparkannya ke bawah. Dia tidak perlu menunggu seseorang untuk berteriak, “Itu seekor ular, itu seekor ular, lepaskan!” Penglihatan akan ular, memberitahukan apa yang harus dilakukannya secara jauh lebih jelas daripada yang bisa dilakukan dengan kata-kata saja. Mengapa? Karena dia melihat bahaya – ular bisa menggigit! Siapa yang perlu memberitahukannya tentang hal ini? Dengan cara yang sama, jika kita berlatih hingga kita mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, kita tidak akan terlibat dengan hal-hal yang membahayakan.

Orang-orang tidak terbiasa berlatih seperti ini, mereka biasanya berlatih untuk hal-hal lain. Mereka tidak mempertimbangkan segala sesuatunya, mereka tidak merenungkan usia tua, sakit dan kematian. Mereka hanya berbicara tentang hal-hal yang tak berhubungan dengan usia tua dan kematian, jadi mereka tidak pernah mengembangkan perasaan yang benar terhadap praktek Dhamma. Mereka pergi dan mendengarkan khotbah Dhamma, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh menyimaknya. Kadang-kadang saya diundang untuk memberikan ceramah pada acara-acara yang penting, tetapi hal itu hanya akan menjadi gangguan bagi saya saja untuk pergi ke sana. Mengapa demikian? Karena ketika saya memperhatikan orang-orang yang berkumpul di sana, saya bisa melihat bahwa mereka datang bukan untuk mendengarkan Dhamma. Beberapa orang ada yang mulutnya bau alkohol, ada yang merokok, ada yang sedang ngobrol…. mereka sama sekali tidak terlihat seperti orang-orang yang telah meyakini Dhamma. Memberikan ceramah di tempat-tempat seperti itu sungguh kecil manfaatnya. Orang yang tenggelam dalam ketidakpedulian cenderung untuk berpikir hal-hal seperti, “Kapan sih dia akan berhenti berbicara?... Tak bisa melakukan ini, tak bisa melakukan itu…” dan pikiran mereka pun berkeliaran ke mana-mana.

Kadang-kadang, mereka bahkan mengundang saya untuk memberikan ceramah hanya untuk sekedar formalitas belaka: “Tolong berikanlah kami sedikit ceramah Dhamma saja, Yang Mulia.” Mereka tidak ingin saya berbicara terlalu banyak, itu akan mengganggu mereka! Begitu saya mendengar orang-orang berbicara seperti ini, saya sudah tahu apa maksud mereka. Orang-orang ini tidak suka mendengarkan Dhamma. Itu akan mengganggu mereka. Jika saya hanya memberikan ceramah yang sedikit saja, mereka tak akan mengerti. Jika kalian mengambil sedikit saja makanan, apakah cukup? Tentu saja tidak.

Kadang-kadang, ketika saya sedang memberikan ceramah, dan baru saja memulai topik pembicaraan, beberapa orang pemabuk akan berteriak, “Oke, berikan jalan, berikan jalan kepada Yang Mulia, dia akan keluar sekarang!” – mencoba untuk mengalihkan perhatian saya! Jika saya bertemu dengan orang seperti ini, saya mendapat banyak bahan-bahan untuk direnungkan, saya memperoleh suatu pencerahan akan sifat alami manusia. Seperti seseorang yang mendapat sebotol penuh air dan kemudian meminta lebih banyak lagi. Tidak ada tempat lagi untuk menampungnya. Itu semua tidak sepadan dengan waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk mengajari mereka, karena pikiran mereka sudah penuh terlebih dahulu. Tuang lebih banyak lagi dan ia hanya akan meluap dengan sia-sia. Jika botol mereka kosong, akan ada tempat untuk menampung air, dan kedua-duanya, baik yang memberi maupun yang menerima, akan memperoleh manfaatnya.

Dengan cara ini, ketika orang-orang benar-benar tertarik pada Dhamma dan duduk dengan tenang, mendengarkan dengan seksama, saya merasa lebih terinspirasi untuk mengajar. Jika orang tidak memperhatikan, ia sama seperti orang dengan botol yang penuh dengan air… tidak ada ruang kosong lagi untuk menampungnya. Sungguh tidak setimpal dengan waktu yang dihabiskan untuk berbicara dengan mereka. Dalam situasi seperti ini, saya tidak punya tenaga sama sekali untuk mengajar. Kalian tidak bisa berusaha keras untuk memberi, bila tidak ada yang berusaha keras untuk menerima pula.

Pada zaman sekarang, memberikan ceramah cenderung menjadi seperti ini, dan ia menjadi semakin memburuk setiap saat. Orang-orang tidak mencari kebenaran, mereka belajar hanya untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan untuk meniti karir, membangun keluarga dan menjaga diri mereka sendiri. Mereka belajar untuk sebuah mata pencaharian. Mungkin ada beberapa pelajaran Dhamma, tetapi tidak banyak. Para pelajar di zaman sekarang memiliki pengetahuan yang lebih luas dibandingkan pelajar-pelajar di masa lalu. Semua keperluan mereka dipenuhi, segala sesuatunya menjadi lebih menyenangkan. Tetapi mereka juga menjadi semakin bingung dan menderita dibandingkan sebelumnya. Mengapa demikian? Karena mereka hanya mencari jenis pengetahuan yang dipergunakan untuk meniti karir saja.

Bahkan para bhikkhu juga seperti ini. Kadang-kadang saya mendengar mereka berkata, “Saya menjadi bhikkhu bukan untuk mempraktekkan Dhamma, saya ditahbiskan hanya untuk belajar.” Ini adalah kata-kata dari seseorang yang telah menghentikan latihannya secara total. Tidak ada jalan lagi di depan sana, jalan buntu. Bila bhikkhu-bhikkhu ini mengajar, ia bersumber hanya dari ingatannya saja. Mereka mungkin mengajarkan sesuatu, tetapi pikiran mereka sepenuhnya berada di tempat lain. Cara mengajar seperti ini tidaklah benar.

Beginilah dunia ini. Jika kalian mencoba hidup sederhana, mempraktekkan Dhamma dan hidup dengan damai, mereka bilang kalian itu aneh dan tidak mau bermasyarakat. Mereka bilang kalian menghambat kemajuan di masyarakat. Mereka bahkan menakut-nakuti kalian. Pada akhirnya kalian bahkan mungkin mulai mempercayai mereka dan kembali kepada jalan duniawi, tenggelam lebih dalam dan lebih dalam lagi ke dalam dunia hingga tidak mungkin lagi untuk keluar. Beberapa orang berkata, “Saya tidak bisa keluar sekarang, saya sudah masuk terlalu dalam.” Inilah kecenderungan masyarakat. Mereka tidak menghargai nilai dari Dhamma.

Nilai dari Dhamma tidaklah untuk ditemukan di buku-buku. Itu hanyalah penampilan luar saja dari Dhamma, mereka bukanlah pemahaman Dhamma sebagai suatu pengalaman pribadi. Jika kalian memahami Dhamma, kalian memahami batin kalian sendiri, kalian melihat kebenaran di sana. Ketika kebenaran menjadi semakin jelas, ia akan menghentikan arus khayalan dan kebodohan.

Ajaran Sang Buddha adalah kebenaran yang tidak berubah, apakah di saat ini ataupun di waktu yang lain. Sang Buddha membabarkan kebenaran ini 2.500 tahun yang lalu dan sejak saat itu, ia menjadi kebenaran yang sejati. Ajaran ini seharusnya tidak ditambah atau dikurangi. Sang Buddha berkata, “Apa yang telah Tathagata paparkan seharusnya tidak dibuang, apa yang tidak dipaparkan oleh Tathagata seharusnya tidak ditambahkan ke dalam ajaran-ajaran ini.” Beliau “menutup rapat-rapat” ajaran-ajaran ini. Mengapa Sang Buddha menutup mereka rapat-rapat? Karena ajaran-ajaran ini adalah kata-kata yang berasal dari seseorang yang sudah tidak memiliki kekotoran batin. Tidak peduli bagaimana pun dunia ini berubah, ajaran-ajaran ini tidak akan terpengaruh, mereka tak akan berubah dengannya. Jika ada sesuatu yang salah, meskipun jika orang-orang mengatakan ia benar, tidak membuatnya menjadi berkurang salahnya. Jika sesuatu benar, itu tidak akan berubah hanya karena orang-orang mengatakan yang sebaliknya. Generasi demi generasi akan datang dan pergi, tetapi hal-hal ini tidak akan berubah, karena ajaran-ajaran ini adalah kebenaran.

Sekarang, siapakah yang menciptakan kebenaran ini? Kebenaran sendirilah yang menciptakan kebenaran! Apakah Sang Buddha menciptakannya! Tidak, beliau tidak menciptakannya. Sang Buddha hanya menemukan kebenaran, sifat-sifat sejati dari segala sesuatunya, dan kemudian membabarkannya. Kebenaran ini tetaplah benar, terlepas dari apakah seorang Buddha muncul di dunia atau tidak. Sang Buddha hanya “memiliki” Dhamma di dalam konteks ini, beliau tidak benar-benar menciptakannya. Ia telah ada di sini sepanjang masa, namun sebelumnya tidak ada seorang pun yang mencari dan menemukan Yang Tidak Mati tersebut, dan kemudian mengajarkannya sebagai Dhamma. Beliau tidak menciptakannya, ia telah ada di sana terlebih dahulu.

Pada beberapa masa, kebenaran ini bersinar terang dan praktek Dhamma pun berkembang. Seiring dengan berjalannya waktu dan berakhirnya generasi demi generasi, praktek ini menjadi menurun dan berkurang hingga ajaran tersebut sirna sama sekali. Setelah beberapa waktu, ajaran ini ditemukan kembali dan berkembang lagi. Waktu pun terus berlanjut, pengikut-pengikut Dhamma menjadi berlipat ganda, kesejahteraan pun tiba, dan sekali lagi ajaran ini mulai mengikuti kegelapan dunia. Jadi, untuk kesekian kalinya, ia merosot dan menurun, hingga pada suatu saat ia tidak mampu lagi bertahan. Kebingungan pun berkuasa kembali. Lalu kemudian tiba saatnya untuk membangun kembali sang kebenaran. Sebenarnya, kebenaran ini tidak pergi ke mana-mana. Ketika para Buddha wafat, Dhamma tidak ikut hilang bersama mereka.

Dunia berputar seperti ini. Mirip seperti pohon mangga. Pohonnya tumbuh besar, berbunga, dan buah-buah pun muncul dan berkembang hingga masak. Mereka membusuk dan benihnya kembali ke dalam tanah untuk menjadi pohon mangga yang baru. Perputarannya dimulai lagi. Pada akhirnya, terdapat lebih banyak buah-buah masak yang terus jatuh, busuk, terbenam di dalam tanah sebagai benih-benih dan tumbuh kembali menjadi pohon-pohon. Beginilah dunia. Ia tidak pergi terlalu jauh, ia hanya berputar di sekitar hal-hal yang sama.

Kehidupan kita di saat ini juga sama. Hari ini kita hanya melakukan hal-hal yang sama yang selalu kita lakukan pada hari-hari sebelumnya. Orang-orang berpikir terlalu banyak. Ada begitu banyak hal yang membuat mereka tertarik, tetapi tidak satu pun dari mereka yang menuntun kepada penyelesaian. Ada ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, psikologi dan seterusnya. Kalian bisa menggali mereka secara lebih mendalam, tetapi kalian bisa mengakhiri segala sesuatunya hanya dengan kebenaran.

Anggaplah ada sebuah pedati yang sedang ditarik oleh seekor keledai. Roda-rodanya tidak panjang, tetapi jejak rodanya lah yang panjang. Selama keledai itu menarik pedati tersebut, jejak rodanya akan mengikuti. Roda-rodanya bulat, namun jejaknya panjang; jejak rodanya panjang namun roda-rodanya hanya berupa bulatan saja. Hanya memperhatikan pedati yang tidak bergerak itu saja, kalian takkan dapat melihat apa pun yang panjang darinya, tetapi begitu keledai itu mulai bergerak, kalian melihat jejaknya yang membentang di belakang kalian. Selama keledai itu terus menarik, roda-rodanya pun terus berputar… tetapi akan tiba saatnya ketika keledai itu lelah dan melepaskan tali penariknya. Si keledai angkat kaki dan meninggalkan pedati yang kosong itu di sana. Roda-rodanya tidak lagi berputar. Bila saatnya tiba, pedati tersebut akan tercerai berai, bagian-bagiannya akan terurai kembali menjadi keempat unsur-unsur – tanah, air, angin dan api.

Mencari kedamaian di dunia adalah seperti kalian membentangkan jejak roda pedati secara terus-menerus tanpa akhir di belakang kalian. Selama kalian masih mengikuti dunia, tak akan ada penghentian, takkan ada istirahat. Jika kalian berhenti mengikutinya, pedati akan beristirahat, roda-rodanya tidak lagi berputar. Mengikuti dunia akan memutar roda-roda tersebut tanpa henti. Membuat kamma buruk adalah seperti ini. Selama kalian masih mengikuti cara yang lama, maka tidak akan ada penghentian. Jika kalian berhenti, maka akan ada penghentian. Beginilah cara kita mempraktekkan Dhamma.


* Note: Ceramah tidak resmi ini diberikan setelah memenuhi undangan untuk menerima persembahan makanan di rumah seorang umat awam di Ubon, ibukota distrik, dekat Wat Pah Pong.

* Dikutip dan diterjemahkan dari buku: “The Teachings Of Ajahn Chah”, sub judul: “Living Dhamma – Living In The World With Dhamma”.

Jangan Menyentuh Kantong Dendam

Jangan Menyentuh Kantong Dendam

Xiao Lie dan Xiao Wang adalah kolega, juga teman akrab. Pada suatu hari mereka berdua duduk dan ngobrol, tangan Xiao Lie yang iseng mengambil satu lembar kertas sambil mengobrol tangannya mulai mencoret kertas itu dengan iseng.

Setelah itu mereka berdua berpisah, Xiao Wang tanpa sengaja melihat kertas yang di coret oleh Xiao Lie, didalam kertas itu terdapat tulisan namanya, tetapi diatas namanya ada huruf “X”.

Pada saat ini Xiao Wang sangat marah, dia lalu memanggil Xiao Lie dengan marah bertanya kepadanya, “Apa maksudmu di atas nama saya di tulis huruf X, “X” berarti hukuman mati, apakah engkau tidak tahu?”

Xiao Lie tergopoh-gopoh menjawab, “Saya hanya iseng, tanpa sengaja mencoret ini, engkau jangan salah paham.”

Walau bagaimanapun Xiao Lie menjelaskan, Xiao Wang tidak peduli terus saja marah, sampai akhirnya mengatakan memutuskan hubungan dengan Xiao Lie, Xiao Lie tidak bisa berbuat apapun, akhirnya mereka berdua menjadi musuh.

Pada saat ini saya teringat kepada sebuah cerita dari Mesir, di Mesir kuno adalah sebuah legenda, dimana ada seorang pahlawan, pada suatu hari dia sedang dalam perjalanan melewati jalan pegunungan yang berliku-liku, tiba-tiba kakinya tersenggol sebuah kantong yang menghalangi jalannya.

Pahlawan ini lalu menginjak kantong, kantong ini bukan saja tidak pecah malah menjadi semakin besar, semakin lama semakin besar, pahlawan ini menjadi emosi lalu mengambil sebuah kayu yang terdapat dipinggir jalan, memukul kantongan ini, kantongan ini semakin besar akhirnya menutup seluruh jalan, pahlawan yang kecapekan ini tidak bisa berbuat apa-apa, akhir dia terduduk kelelahan.

Pada saat ini dari hutan keluar seorang suci, orang suci ini berkata kepada pahlawan ini, “Temanku, jangan menyentuh kantong itu, lupakan dia, menghindarlah jauh-jauh darinya, dia disebut “kantong dendam” jika engkau tidak menyakitnya, dia akan berubah menjadi kecil seperti semula, tetapi jika engkau menyentuh atau menyakitnya, dia akan semakin besar menghalangi jalanmu, seterusnya dia akan menganggap engkau seperti musuhnya yang tidak akan dilepaskan.”

Cerita ini mengandung maksud yang dalam. Benar saja, manusia bekerja, bergaul dan hidup di masyarakat, tentu saja terkadang terjadi pergesekan, akan timbul salah paham kemudian menjadi dendam.

Tetapi jangan lupa di kantong dendam kita sendiri selalu diisi dengan ketulusan, dada yang lapang, dengan tulus meminta maaf, dengan lapang dada bersalaman tangan, lebih banyak memikirkan orang lain, lupakan rasa dendam, dengan demikian akan menghadapi lebih sedikit rintangan, dan akan mendapat lebih banyak memiliki kesempatan untuk menjadi sukses.

Petani dan Cangkulnya

Petani dan Cangkulnya

Ada seorang petani dengan cangkulnya membajak sawah setiap hari. Selama bertahun-tahun waktunya dihabiskan dengan mencangkul tanah. Dia melakukan pekerjaannya dengan rajin sehingga memperoleh hasil cukup bagus.

Pada suatu hari ada seorang kultivator datang ke rumahnya meminta derma. Kultivator ini kelihatan hidup dengan bebas dan bahagia, maka didalam hati petani ini timbul niat untuk berkultivasi.

Setelah pulang kerumahnya, dia bertekad akan melepaskan segalanya, seperti kultivator ini hidup bebas bahagia. Setelah keluar dari rumahnya, dia merasa kedua tangannya kosong sangat tidak terbiasa.

Setiap hari dia senantiasa membawa cangkulnya keluar bersamanya, sekarang melepaskannya seperti merasa ada sesuatu yang hilang. Akhirnya dia masuk kembali ke dalam rumahnya, mengangkat cangkulnya melihat dari atas sampai kebawah, dari bawah sampai ke atas, cangkul ini dipergunakan setiap hari oleh sebab itu kelihatannya sangat mengkilat. Untuk meninggalkannya sungguh tidak terbiasa, setelah berdiri dia kembali terduduk, dan mengelus-elus cangkulnya itu.

Lalu dia membersihkan cangkul itu sampai bersih mengkilat, membungkusnya dengan kain yang berlapis-lapis, meletakkan disuatu tempat yang istimewa. Pada saat ini dia merasa hatinya agak tenang, dia lalu keluar dari rumahnya, masuk ke biara menjadi bhiksu.

Petani ini setelah menjadi kultivator hatinya sangat teguh berkultivasi, tetapi setiap dia melihat hamparan padang rumput yang hijau, hatinya selalu teringat kepada cangkulnya. Dia selalu tanpa bisa menahan hatinya lari pulang kerumahnya membuka bungkusan kain, mengelus-elus cangkulnya, kemudian dibungkus kembali kemudian pulang kembali ke biara.

Setelah berkultivator selama 7-8 tahun, dia lalu berpikir, “Kenapa begitu lama saya berkultivasi sudah beberapa tahun, tetapi masih belum mendapat apa-apa?

Setelah dipikirkan dia menyadari bahwa adalah sesuatu keterikatan yang sangat besar yang belum bisa dia lepaskan! Dia bertekad akan melepaskan keterikatan ini, lalu dia pulang kerumahnya, mengambil cangkulnya membawanya ke sebuah danau yang sangat besar, dia mengelilingi danau ini beberapa kali, lalu dengan sekuat tenaganya membuang cangkul itu ke dalam danau. Beban dihatinya bagaikan batu yang besar juga terasa lepas begitu saja.

“Saya sudah berhasil!, saya telah menang!” Dia berteriak dengan gembira.

Pada saat itu kebetulan ada seorang raja dengan para panglima dan prajurit yang menang perang melewati danau. Dari jauh raja sudah mendengar petani yang berteriak dengan gembira itu. Raja yang berada diatas pelana kudanya, lalu mendekatinya dan bertanya kepadanya.

“Engkau memenangkan apa, kenapa demikian gembira?” tanya Raja.

“Saya bisa memenangkan iblis didalam hati saya, saya telah melepaskan semua keterikatan di dalam hati saya,” jawab petani kultivator itu.

Raja melihat dia demikian gembira, benar-benar kegembiraan yang terlepas dari dasar hatinya, bebas bahagia, lalu dia memikirkan keadaan dirinya sendiri, saya mempunyai kekuasaan yang demikian besar, membawa pasukan yang sangat besar, memenangkan peperangan, tapi apakah saya merasa senang, apakah hati saya merasa tenang?

Dia berpikir dia tidak seberuntung kultivator ini, oleh sebab ini raja sangat salut kepada kultivator ini, dia beranggapan dapat mengalahkan iblis didalam hati diri sendiri, ini barulah bisa menjadi orang suci sejati, sedangkan mengalahkan musuh hanyalah duniawi.

Sekarung Permata

Sekarung Permata

Di pagi buta, ketika matahari belum terbit, seorang nelayan menuju ke tepi sungai. Di pantai berpasir kakinya menyenggol sesuatu, rupanya adalah sekarung batu.

Dia mengangkat karung ini, meletakkan jaringnya disebelahnya, duduk di pantai menunggu matahari terbit.

Dia sedang menunggu matahari terbit, setelah itu dia akan mulai melakukan pekerjaan sehari-harinya.

Dengan malas dia duduk disana menunggu sambil merogoh sebutir batu dari dalam karung lalu dilemparkan dengan iseng ke dalam sungai, sebelum matahari terbit tidak bisa melakukan apa-apa lagi, lalu dia melanjutkan melempar sebutir demi sebutir batu ke dalam sungai.

Perlahan-lahan, matahari mulai terbit, langit mulai terang, pada saat ini hanya tinggal sebutir batu yang ada ditangannya yang lain sudah dilempar semua kedalam sungai.

Hanya tinggal batu terakhir ditangannya, ketika dia melihat sinar matahari yang menyinari batu yang berada ditangannya ini, hatinya berdenyut dengan kencang seperti akan berhenti. Itu adalah sebutir batu permata! Didalam kegelapan, dia melempar habis satu karung permata ke sungai!

Tanpa sengaja kerugian yang dideritanya ini tak terhitung! Dia mulai memaki diri sendiri yang bodoh, dia sangat menyesal dan mulai meratap sampai hampir kehilangan kesadaran.

Tanpa sengaja dia menemukan harta yang dapat membuat dia hidup senang seumur hidupnya, tetapi tanpa sengaja, didalam kegelapan malam, dia melemparkan semuanya ke dalam sungai.

Walau begitu dia cukup beruntung karena masih ada sebutir permata yang tersisa, sebelum dia kehilangan sebutir permata yang terakhir ini, hari sudah terang. Dapat dikatakan dia masih cukup beruntung, kebanyakan orang tidak akan seberuntung seperti dia.

Disekeliling terlihat gelap, tetapi waktu berlalu dengan cepat, ketika matahari belum terbit kita sudah menghabiskan seluruh permata dari nyawa kita.

Nyawa ini adalah sebutir gudang permata yang sangat besar, manusia tidak mempergunakannya dengan sebaik-baiknya, hanya menyia-nyiakannya.

Ketika kita sadar betapa pentingnya nyawa ini, kita telah menghabiskan seluruh waktu yang tersisa. Rahasia dari kehidupan, gembira, belas kasih, bijaksana….. seluruhnya telah terbuang habis. Kehidupan seseorang berlalu begitu saja.

Hati Nurani

Hati Nurani

Ada seorang tua berupaya agar ketiga anaknya memperoleh lebih banyak pengalaman hidup. Suatu saat ia berkata kepada ketiga anaknya itu.

“Kalian pergilah merantau, setelah 3 bulan kalian kembali kerumah, ceritakan pengalaman yang paling berkesan selama kalian merantau, saya akan melihat perbuatan diantara kalian bertiga yang paling bisa dibanggakan,” katanya.

Ketiga anaknya setelah mendengar perkataan bapaknya, mulai melakukan perjalanan.

Tiga bulan berselang, mereka bertiga sudah kembali ke rumah, bapaknya bertanya kepada mereka perbuatan yang paling bangga yang telah mereka lakukan. Satu persatu anak-anaknya mengisahkan pengalaman mereka.

“Saya bertemu dengan seseorang, dia menitipkan sekantong permata berharga kepada saya, dia sendiri tidak tahu berapa jumlah permata didalam kantong itu, jika saya mengambil beberapa butir dia juga tidak akan tahu, ketika orang ini mengambil titipannya, saya menyerahkan seperti semula tanpa saya buka sama sekali,” kisah si anak sulungnya.

Setelah mendengar cerita anak sulungnya itu, bapaknya berkata kepadanya.

“Ini hal yang memang harus engkau lakukan, jika engkau mengambil beberapa butir, coba engkau pikirkan engkau akan berubah menjadi orang apakah?” komentar si Bapak.

Putra sulungnya mendengar komentar bapaknya, menganggapnya benar lalu pergi mengundurkan diri. Anak keduanya ganti menceritakan pengalamannya.

“Suatu hari saya melihat ada seorang anak kecil terjatuh di air, saya lalu menolongnya, keluarganya memberi saya hadiah besar, saya tidak menerimanya,” cerita anak kedua.

Mendengar kisah anak keduanya itu, bapaknya mengatakan kepadanya.

“Inipun memang yang seharusnya engkau lakukan, jika engkau melihat anak kecil itu mati tenggelam, apakah hatimu bisa tenang?” kata Bapaknya.

Setelah anak kedua mendengar komentar bapaknya itu, ia tidak berkata apapun. Lalu anaknya yang paling bungsu mengisahkan juga pengalamannya.

“Pada suatu hari saya melihat seorang yang sakit pingsan dipinggir jurang di jalan pegunungan, jika sedikit membalikkan badan saja sudah akan terjatuh dalam jurang, saya mendekatinya melihat, orang itu rupanya adalah musuh besar saya, dahulu beberapa kali saya berpikir untuk membalas dendam, tetapi tidak punya kesempatan, sekarang kesempatan ini muncul, saya tidak memerlukan tenaga mendorong, dia sudah akan terjatuh ke dalam jurang, tetapi saya mengantarnya pulang ke rumah,” kisah anak bungsu.

Bapaknya tidak menunggu dia habis berbicara, lalu dengan memuji ia mengatakan kepadanya.

“Perbuatan kedua kakakmu melakukan hal yang memang secara hati nurani dilakukan setiap orang, tetapi perbuatanmu dengan budi membalas rasa dendam, itu adalah perbuatan yang sangat terpuji.”

Melakukan perbuatan yang memang harus dilakukan, adalah hal yang wajar yang tidak mengkhianati hati nurani, tetapi melakukan perbuatan yang tidak ingin dilakukan, barulah hal itu membuat hati nurani ini dapat bersinar terang.

Cerita diatas, mengisahkan ketiga bersaudara ini melakukan hal yang tidak menyimpang dari permintaan hati nurani, anak sulung tidak tamak, anak kedua menolong orang yang kesusahan, kedua perbuatan ini adalah hal yang wajib dan memang seharusnya dilakukan oleh semua manusia. Sedangkan anak bungsu yang mempunyai dada yang lapang dan mau memaafkan musuhnya, malahan menolong musuhnya, hati nuraninya menyuruh dia tidak melakukan hal yang jahat, malahan bisa melakukan perbuatan baik yang tidak semua orang bisa lakukan, terlihat dari sini dia melupakan seorang yang bisa menjadi panutan bagi orang lain.

Kisah Menyentuh Seorang Ibu Tua

Kisah Menyentuh Seorang Ibu Tua


Ini cerita dari Jepang kuno. Mudah2an bisa diambil hikmahnya…

Konon pada jaman dahulu, di Jepang ada semacam kebiasaan untuk membuang orang lanjut usia ke hutan. Mereka yang sudah lemah tak berdaya dibawa ke tengah hutan yang lebat, dan selanjutnya tidak diketahui lagi nasibnya.

Alkisah ada seorang anak yang membawa orang tuanya (seorang wanita tua) ke hutan untuk dibuang. Ibu ini sudah sangat tua, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Si anak laki-laki ini menggendong ibu ini sampai ke tengah hutan. Selama dalam perjalanan, si ibu mematahkan ranting-ranting kecil. Setelah sampai di tengah hutan, si anak menurunkan ibu ini.
“Bu, kita sudah sampai”,kata si anak. Ada perasaan sedih di hati si anak. Entah kenapa dia tega melakukannya.
Si ibu , dengan tatapan penuh kasih berkata: “Nak, Ibu sangat mengasihi dan mencintaimu. Sejak kamu kecil, Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang ibu miliki dengan tulus. Dan sampai detik ini pun kasih sayang dan cinta itu tidak berkurang.
Nak, Ibu tidak ingin kamu nanti pulang tersesat dan mendapat celaka di jalan. Makanya ibu tadi mematahkan ranting-ranting pohon, agar bisa kamu jadikan petunjuk jalan”.
Demi mendengar kata-kata ibunya tadi, hancurlah hati si anak. Dia peluk ibunya erat-erat sambil menangis. Dia membawa kembali ibunya pulang, dan ,merawatnya dengan baik sampai ibunya meninggal dunia.

Mungkin cerita di atas hanya dongeng. Tapi di jaman sekarang, tak sedikit kita jumpai kejadian yang mirip cerita di atas. Banyak manula yang terabaikan, entah karena anak-anaknya sibuk bisnis dll. Orang tua terpinggirkan, dan hidup kesepian hingga ajal tiba. Kadang hanya dimasukkan panti jompo, dan ditengok jkalau ada waktu saja.

Kiranya cerita di atas bisa membuka pengertian kita, untuk bisa mencintai orang tua dan manula. Mereka justru butuh perhatian lebih dari kita, disaat mereka menunggu waktu untuk dilahirkan kembali. Ingatlah perjuangan mereka pada waktu mereka muda, membesarkan kita dengan penuh kasih sayang, membekali kita hingga menjadi seperti sekarang ini.

SELAMAT HARI IBU
22 DESEMBER 2010

Kasih Sayang Seorang Ibu

Kasih Sayang Seorang Ibu


Alkisah di sebuah desa, ada seorang ibu yang sudah tua, hidup berdua dengan anak satu-satunya. Suaminya sudah lama meninggal karena sakit. Sang ibu sering kali merasa sedih memikirkan anak satu-satunya. Anaknya mempunyai tabiat yang sangat buruk yaitu suka mencuri, berjudi, mengadu ayam dan banyak lagi.

Ibu itu sering menangis meratapi nasibnya yang malang. Ia sering berdoa : “Sadarkan anakku yang kusayangi, supaya tidak lagi melakukan kamma buruk. Aku sudah tua dan ingin menyaksikan dia menjadi baik sebelum aku mati”

Namun semakin lama si anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya. Sudah sangat sering ia keluar masuk penjara karena kejahatan yang dilakukannya.

Suatu hari ia kembali mencuri di rumah penduduk desa, namun dia tertangkap. Kemudian dia dibawa ke hadapan raja utk diadili dan dijatuhi hukuman pancung. Pengumuman itu diberitakan ke seluruh desa. Hukuman akan dilakukan keesokan hari di depan rakyat desa dan tepat pada saat lonceng berdentang menandakan pukul enam pagi

Berita hukuman mati itu sampai ke telinga si ibu. Dia menangis meratapi anak yang sangat dikasihinya dan berkata dalam batinnya : “Sungguh malang nasibmu Nak. Biarlah ibu yang sudah tua ini yang menggantikanmu”

Dengan tertatih – tatih dia mendatangi raja dan memohon belas kasihan Raja agar ia diijinkan menggantikan hukuman raja dan anaknya dibebaskan. Tapi keputusan Raja sudah bulat, anakknya harus menjalani hukuman.

Dengan hati hancur, ibu kembali ke rumah. Tak hentinya dia menangis dan mengharapkan anaknya terbebas dari hukuman. Akhirnya dia tertidur karena kelelahan. Ia bermimpi anaknya dibebaskan.

Keesokan harinya, di tempat yang sudah ditentukan, rakyat berbondong-bondong menyaksikan hukuman tersebut. Sang algojo sudah siap dengan pedangnya yang tajam dan berkilat. Anak itu juga sudah pasrah dengan nasibnya. Terbayang di matanya wajah ibunya yang sudah tua, tanpa terasa ia menangis menyesali perbuatannya.

Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba. Detik demi detik berlalu, lonceng belum juga berdentang. Sudah lewat lima menit dan rakyat mulai berisik. Akhirnya petugas yang membunyikan lonceng datang. Ia mengaku heran karena sudah sejak tadi dia menarik tali lonceng tapi suara dentangnya tidak ada.

Saat mereka semua sedang bingung, tiba-tiba dari tali lonceng mengalir darah segar. Darah itu berasal dari atas tempat lonceng itu diikat.

Dengan jantung berdebar seluruh rakyat menantikan kabar saat beberapa orang naik ke atas menyelidiki sumber aliran darah.

Tahukah apa yang terjadi?

Ternyata di dalam lonceng ditemui tubuh si ibu tua dengan kepala hancur berlumuran darah. Dia memeluk bandul lonceng yang menyebabkan lonceng tidak berbunyi. Dan sebagai gantinya, kepalanya hancur terbentur dinding lonceng.

Seluruh orang yang menyaksikan kejadian itu tertunduk dan meneteskan air mata. Sementara si anak meraung - raung memeluk tubuh ibunya yang sudah diturunkan. Ia menyesali dirinya yang selalu menyusahkan ibunya.

Ternyata malam sebelumnya si ibu dengan susah payah memanjat ke atas dan mengikat dirinya di bandul lonceng. Memeluk besi dalam lonceng untuk menghindari hukuman pancung anaknya.

Sungguh mulia pengorbanan sang Ibu.

Catatan :
Artikel ini dipersembahkan untuk menghormat jasa kebajikan para ibu di seluruh dunia.
Adalah kuajiban anak-anak untuk membahagiakan orangtua.
Bila sebagai anak tidak mampu membahagiakan orangtua, hendaknya anak tidak menyusahkan orangtua.

Sudahkah kita semua menghormat orangtua kita masing-masing?
Selamat hari Ibu.

Sebatang Ginseng

Sebatang Ginseng

Alkisah di sebuah desa ada seorang bapak sedang pergi ke pasar. Dia melihat seorang pedagang sedang menjual sesuatu. Lalu dia bertanya kepadanya.

“Ini apa?”

”Ginseng,” jawab si pedagang.

Dijawab lagi oleh si Bapak: “Ini ginseng beneran?” Pedagang menjawab: “Tentu saja, ini adalah ginseng pegunungan.”

Si Bapak bertanya kembali: “Berapa harganya?” Pedagang ginseng ini menjawab, ”800 Yuan.”

Bapak dari desa kami ini memang sudah lama ingin membeli ginseng, hari ini kebetulan bertemu. Akhirnya dia menyerahkan 800 Yuan membeli ginseng ini.

Ketika pulang ke rumah, penduduk desa seorang pakar ginseng setelah melihat ginseng yang dibeli olehnya lalu berkata,” Ini bukan ginseng pegunungan, ini adalah sebatang akar sayur sawi.”

“Benarkah?” berarti saya tertipu.”

Dia dengan ringan menjawab, hatinya tidak merasa kesal dan marah.

Dia berpikir ini memang sudah nasib saya, mungkin di kehidupan yang lain saya berhutang kepada orang ini, maka sudah pantas sekarang saya membayarnya.

20 tahun telah berlalu, pada suatu malam bapak yang membeli ginseng ini bermimpi, dengan jelas seseorang berkata kepadanya, “Hari ini saya datang membayar hutang, masih ingat ginseng yang engkau beli, itu bukan ginseng tetapi itu adalah akar sayur sawi.”

Ketika dia terbangun, tidak ada orang yang datang membayar hutang kepadanya, itu hanya mimpi.

Keesokan harinya lembu yang dipeliharanya melahirkan seekor lembu kecil. Setelah setahun berlalu lembu kecil ini sudah besar.

Dia menarik lembunya ke pasar untuk dijual, setelah seharian ditawar oleh beberapa orang, semua harga yang ditawar adalah 800 Yuan, tidak ada seorangpun yang menawar lebih atau kurang dari 800 Yuan.

Bapak ini teringat, “Ini seperti mimpi saya setahun yang lalu, mungkin dia memang datang membayar hutang kepada saya.”

Di dalam hatinya berpikir demikian, lalu dia menarik lembunya kepinggir dan bertanya, “Lembu kecil, apakah engkau datang untuk membayar hutangmu? Jika benar engkau harus tambah sedikit supaya saya bisa membeli sebungkus nasi, hari sudah mulai gelap.”

Begitu perkataannya habis dikatakan, dari depannya datang seorang pembeli, orang ini membuka mulut menawar lembunya dengan harga 800 Yuan.

Dia berkata,”Tambah sedikit lagi Tuan.”

Pembeli menjawab: “Tidak bisa, hari sudah mulai gelap, ini saya tambahkan sedikit, namun hanya cukup beli sebungkus nasi.”

Penjual lembu ini segera mengerti lalu menjual lembunya kepada orang ini.

Ini pengalaman dalam hidup manusia, setiap niat pikiran dan perbuatan manusia akan mendapat balasan di kemudian hari, seseorang yang melakukan sesuatu yang tidak baik dikemudian hari dia harus membayar apa yang dilakukannya. Semua ini adalah hukum karma, percaya atau tidak, tentu tergantung masing-masing individu.

Ketuhanan dalam Agama Buddha

KETUHANAN DALAM AGAMA BUDDHA

Oleh Bhikkhu Uttamo

Umat Buddha kadang dianggap masyarakat luas sebagai orang yang tidak bertuhan. Agama Buddha sering pula dikatakan sebagai agama yang tidak bertuhan. Bahkan, pada suatu pertemuan dengan para pemuka agama, saya pernah menerima pernyataan dari pemuka agama lain bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Menanggapi pernyataan yang bersifat tuduhan ini, saya jawab dengan pertanyaan lain: ”Manakah agama di Indonesia yang bertuhan?” Tentu saja para pemuka agama itu langsung tersentak kaget dan merah padam mukanya. Mereka seolah tidak percaya dengan pertanyaan saya tersebut. Namun, saya segera melanjutkan dengan keterangan bahwa istilah ‘tuhan’ sesungguhnya berasal dari Bahasa Kawi. Oleh karena itu, pengertian kata ‘tuhan’ terdapat dalam kamus Bahasa Kawi. Disebutkan dalam kamus tersebut bahwa ‘tuhan’ berarti penguasa atau tuan. Dan, karena di Indonesia tidak ada agama yang mempergunakan Bahasa Kawi sebagai bahasa kitab sucinya, lalu agama manakah di Indonesia yang bertuhan dan mencantumkan istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci aslinya? Menyadari kebenaran tentang bahasa asal kitab suci masing-masing, barulah mereka menerima bahwa memang tidak ada istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci mereka. Jika demikian dalam Tipitaka, kitab suci Agama Buddha, tentu juga tidak akan pernah ditemukan istilah ‘tuhan’ karena Tipitaka menggunakan Bahasa Pali yaitu bahasa yang dipergunakan di India pada jaman dahulu. Namun, tidak adanya istilah ‘tuhan’ dalam kitab suci Tipitaka tentunya tidak boleh dengan mudah dan sembarangan kemudian orang menyebutkan bahwa ‘Agama Buddha tidak bertuhan’. Salah pengertian dan penafsiran sedemikian sembrono tentunya berpotensi menjadi pemicu pertentangan antar umat beragama di Indonesia bahkan di berbagai belahan dunia.

Sebagai contoh sederhana tentang hal ini adalah penggunaan istilah ‘telunjuk’ untuk salah satu jari tangan manusia. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata ‘telunjuk’ pasti dengan mudah dapat diketemukan karena memang kata tersebut berasal dari Bahasa Indonesia. Namun, dalam kamus
Bahasa Inggris, tidak mungkin dapat dijumpai istilah ‘telunjuk’. Kenyataan yang bertolak belakang ini tentu saja tidak mengkondisikan orang secara sembarangan menyimpulkan bahwa semua orang yang berbahasa Inggris tidak mempunyai telunjuk. Sebuah kesimpulan yang aneh dan tidak masuk akal. Kesimpulan sembarangan semacam ini pasti akan menjadi bahan tertawaan orang banyak.

Sayangnya, pemahaman seperti ini tidak berlaku untuk konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Ketika Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah ‘tuhan’ dalam berbagai upacara ritual, maka secara sembarangan, masyarakat telah ‘menuduh’ bahwa Agama Buddha tidak bertuhan. Padahal, dalam Agama Buddha yang menggunakan kitab suci berbahasa Pali, konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana atau lebih dikenal secara luas sebagai Nirvana (Bahasa Sanskerta). Jadi, seseorang tidak akan pernah menemukan istilah ‘tuhan’ dalam Tipitaka, melainkan istilah ‘nibbana’. Nibbana inilah yang sering dibabarkan oleh Sang Buddha di berbagai kesempatan kepada bermacam-macam lapisan masyarakat. Nibbana ini pula yang menjadi tujuan akhir seorang umat Buddha, sama dengan berbagai konsep ketuhanan dalam agama lain yang juga menjadi tujuan akhir mereka masing-masing. Seperti telah diketahui bersama bahwa Ajaran Sang Buddha mengenal adanya tiga tujuan hidup umat Buddha yaitu pertama, mendapatkan kebahagiaan di dunia. Kedua, kebahagiaan karena terlahir di alam surga atau alam bahagia setelah meninggal dunia. Ketiga, kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana atau Nirvana yang dapat dicapai ketika seseorang masih hidup di dunia ataupun setelah ia meninggal nanti.

Kebahagiaan yang pertama adalah kebahagiaan duniawi yang dapat diwujudkan di dunia ini setelah seseorang mengenal dan melaksanakan Buddha Dhamma. Apabila setelah mengenal Dhamma, seseorang semakin susah hidupnya, maka berarti Dhamma yang lebih dikenal sebagai Agama Buddha itu belum memberikan manfaat baginya. Kebahagiaan tahap pertama ini diukur dengan adanya rasa cukup, paling tidak, untuk empat kebutuhan pokok paling mendasar yaitu pakaian, makanan, tempat tinggal serta sarana kesehatan. Pengertian ‘cukup’ yang dimaksudkan di sini tentu saja sangat relatif sifatnya. Cukup bagi seseorang mungkin saja kekurangan bagi orang lain. Oleh karena itu, dalam Dhamma, istilah ‘cukup’ ini diukur paling bawah atau secara minimal dari rasa cukup yang dimiliki oleh para bhikkhu. Dengan demikian, seorang umat yang mempunyai lebih daripada yang dimiliki bhikkhu, maka sesungguhnya ia sudah dapat disebut sebagai cukup. Kalaupun umat tersebut masih merasa tidak cukup, mungkin saja hal ini berhubungan dengan kebutuhan yang berbeda atau bahkan ketamakan yang dimiliki.

Para bhikkhu dalam menjalani hidup sebagai pertapa masih membutuhkan empat kebutuhan pokok yaitu jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Keperluan jubah seorang bhikkhu hanya satu set saja. Dengan demikian, jika seorang bhikkhu mampu hidup menggunakan satu set jubah selama bertahun-tahun, maka seorang umat yang memiliki lebih dari satu set pakaian, misalnya tujuh set untuk tujuh hari dalam seminggu, maka ia bisa dianggap telah cukup. Namun, apabila ia telah memiliki banyak sekali pakaian dan masih juga merasa belum cukup, maka hal ini lebih disebabkan oleh ketamakan yang dimilikinya.

Demikian pula dengan kebutuhan makanan. Kehidupan seorang bhikkhu ditopang dengan makanan yang diperoleh dari persembahan umat. Pada umumnya, seorang bhikkhu hanya makan sekali atau dua kali sebelum tengah hari. Oleh karena itu, jika seorang umat sudah mampu menyediakan diri dan keluarganya makanan lebih dari dua kali sehari, sesungguhnya ia sudah dapat dikatakan cukup. Namun, apabila ia masih merasa belum cukup ketika makanan yang ia miliki telah berlebihan, maka perasaan ini timbul sebagai akibat dari ketamakan yang ia miliki selama ini.

Kebutuhan tempat tinggal seorang bhikkhu dapat tercukupi dengan tinggal di dalam goa ataupun gubuk sederhana. Oleh karena itu, apabila seorang umat telah mampu memiliki satu unit rumah walaupun sederhana, sebenarnya ia telah dapat disebut cukup. Berlebihan dalam penyediaan rumah bisa dikatakan sebagai tanda ketamakan.

Akhirnya, kecukupan sarana kesehatan menjadi sumber kebahagiaan duniawi yang keempat setelah pakaian, makanan maupun tempat tinggal. Untuk menjaga kesehatan maupun mengobati penyakit, seorang bhikkhu sesuai dengan peraturan kebhikkhuan diperkenankan mempergunakan urine sendiri. Tradisi ini sebenarnya dimasa sekarang lebih dikenal dengan istilah ‘terapi urine’. Jadi, apabila seorang umat telah mampu membeli obat, walaupun generik, ia sesungguhnya sudah dapat disebut cukup. Namun, apabila ia berlebihan dalam pengadaan sarana kesehatan sehingga cenderung boros, maka ia termasuk telah dipengaruhi oleh nafsu ketamakan.

Terkait dengan tujuan hidup umat Buddha yang pertama yaitu hidup bahagia di dunia dengan kecukupan pakaian, makanan, tempat tinggal maupun sarana kesehatan, maka banyak sekali catatan uraian Dhamma Sang Buddha tentang mencari nafkah, mempertahankan dan meningkatkan kekayaan maupun upaya membina hidup rumah tangga bahagia dan harmonis. Dengan melaksanakan uraian Dhamma yang telah disampaikan oleh Sang Buddha dan dicatat dalam Kitab Suci Tipitaka, maka para umat Buddha diharapkan mempunyai pedoman hidup yang jelas serta pasti untuk bekerja dan berumah tangga. Dengan demikian, ia akan mendapatkan kecukupan materi, bahkan berlimpah dengan materi namun rumah tangga serta kondisi batin tetap bahagia.

Selanjutnya, tujuan hidup umat Buddha yang kedua setelah merasa cukup bahagia hidup di dunia adalah mengarahkan kehidupannya agar setelah meninggal dunia ia terlahir di alam surga. Tujuan terlahir di alam surga ini menjadi tujuan kedua agar memberikan kesempatan para umat Buddha membuktikan terlebih dahulu manfaat Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan ini. Apabila memang benar ia telah memetik manfaat Buddha Dhamma dengan mendapatkan kebahagiaan duniawi, tentu akan tumbuh keyakinan yang kuat dalam dirinya kepada Ajaran Sang Buddha. Ia akan lebih bersemangat melaksanakan Dhamma agar ia terlahir di alam bahagia sebagai tujuan hidup yang berikutnya. Pembuktian mencapai kebahagiaan di dunia ini menjadi sangat penting karena pembuktian kelahiran di surga jauh lebih sulit dilakukan semasa seseorang masih hidup di dunia. Kelahiran di alam surga sering menjadi pengetahuan umum maupun kepercayaan membuta yang diperoleh dari berbagai kitab suci yang ada dalam masyarakat. Disini Buddha Dhamma berusaha memberikan bukti, bukan hanya sekedar janji.

Tidak adanya manfaat memiliki kepercayaan membuta tanpa bukti atas kelahiran di surga ini dapat diperjelas dengan perumpamaan cinta seorang pria terhadap gadis pujaannya. Tersebutlah sebuah kisah tentang seorang gadis yang cantik jelita. Kecantikannya telah terkenal di mana-mana. Setiap hari, banyak pemuda datang mengharapkannya sebagai istri. Mereka datang dengan membawa berbagai buah tangan sebagai penarik hati si gadis itu. Akhirnya, dari sekian banyak pria yang melamar, gadis tersebut memilih salah satu diantaranya. Ketika si pria yang diterima lamarannya ini bertanya, kapan mereka akan menikah. Si gadis menjawab, “Nanti setelah kita mati”. Sebuah jawaban yang aneh dan tidak ada gunanya. Ketika mereka mati, kapan mereka memiliki kesempatan untuk hidup dan berbahagia bersama? Tidak masuk akal memang. Sayangnya, jawaban semacam ini dianggap tidak aneh dan tetap layak dipercaya ketika seseorang mendapatkan janji tanpa bukti bahwa seseorang akan terlahir di surga setelah ia meninggal dunia. Justru karena untuk membuktikan terlebih dahulu, Buddha Dhamma memberikan kesempatan kepada mereka yang mau mempelajari dan melaksanakan Dhamma mendapatkan kebahagiaan duniawi sebelum mereka membicarakan kebahagiaan surgawi.

Adapun kebahagiaan surgawi yang dicapai setelah mendapatkan kebahagiaan duniawi dapat diperoleh para umat Buddha dengan mengkondisikan timbulnya kebahagiaan duniawi kepada mereka yang membutuhkan. Umat Buddha hendaknya sering melakukan kebajikan dengan membagikan kelebihan pakaian, makanan, tempat tinggal maupun sarana kesehatan yang telah ia miliki dan ia telah merasa cukup dengan hal itu. Disinilah peran rasa cukup yang mampu mengatasi ketamakan menjadi sangat penting. Dari tindakan ini pula dapat dibedakan pengaruh cukup atau tamak terhadap diri seseorang. Mereka yang dipengaruhi oleh ketamakan tidak akan pernah merasa cukup dan tidak ingin berbagi kepada mereka yang membutuhkannya. Sedangkan mereka yang merasa cukup tidak akan pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan untuk berbagi dan terus berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Dengan sering berbagi, maka umat pun terlatih untuk memperbanyak kebajikan melalui badan, ucapan serta pikiran. Banyaknya kebajikan yang telah dilakukan inilah yang akan menjadi jalan lebar serta lurus untuk seseorang terlahir di alam surga setelah kematiannya.

Akhirnya, karena seseorang telah mampu membuktikan pencapaian kebahagiaan duniawi dengan melaksanakan Dhamma, ia pun telah merasakan kebahagiaan karena mampu berbagi, maka tahap ketiga sebagai tujuan hidupnya adalah berusaha mencapai Nibbana atau Nirvana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam kehidupan ini juga maupun kehidupan yang selanjutnya.

Untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara pendekatan. Pertama, Tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah “Tuhan melihat umatNya”, atau “Tuhan mendengar doa umatNya” serta masih banyak lainnya. Pendekatan kedua, Tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, “Tuhan marah”, “Tuhan cemburu”, “Tuhan mengasihi”, “Tuhan adil”, serta masih banyak istilah sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, Ketuhanan dalam Agama Buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama Buddha menggunakan aspek ‘nafi’ atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha adalah “Yang tidak terlahirkan”, “Yang tidak menjelma”, “Yang tidak bersyarat”, “Yang tidak kondisi”. “Yang tidak terpikirkan”, serta masih banyak kata ‘tidak’ lainnya. Secara singkat, Tuhan atau Nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian.

Demikian pula dengan konsep ketuhanan dalam Agama Buddha. Apabila rasa, bentuk maupun warna durian yang mudah dijumpai saja tidak mampu diceritakan, maka tentunya kini sudah dapat dimengerti penyebab Dhamma mempergunakan istilah ‘tidak terpikirkan’ untuk menceritakan Nibbana. Hanya saja, menyebutkan ‘tidak terpikirkan’ bukan berarti tidak ada. Sama dengan kesulitan menceritakan rasa durian di atas; tidak bisa diceritakan bukan berarti tidak ada. Untuk menjelaskan durian, perlu dibuktikan sendiri. Untuk memahami Nibbana, perlu dijalani sendiri. Jalan yang harus ditempuh itu dikenal sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Mulia Berunsur Delapan sesungguhnya hanya merupakan satu jalan saja. Namun, satu jalan ini terdiri dari delapan unsur yaitu Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Jalan Mulia inilah yang diajarkan Sang Buddha ketika Beliau pertama kali mengajarkan Dhamma di dunia. Karena seorang umat Buddha harus melaksanakan dan menjalani sendiri Jalan Mulia Berunsur Delapan agar dapat memahami Ketuhanan Yang Mahaesa atau Nibbana, maka dalam Ajaran Sang Buddha dikenal istilah “datang dan buktikan” atau ehipassiko (Bhs. Pali).

Jalan Mulia Berunsur Delapan yang telah disebutkan di atas adalah merupakan salah satu unsur dari Ajaran Pokok Sang Buddha yang dikenal dengan Empat Kesunyataan Mulia. Seperti nama yang dipergunakan, Empat Kesunyataan Mulia terdiri dari empat kondisi yang pasti dialami oleh semua mahluk hidup. Kesunyataan pertama menyebutkan kenyataan bahwa hidup berisikan ketidakpuasaan. Ketidakpuasan ini disebabkan karena keinginan untuk selalu bertemu dan berkumpul dengan mereka yang dicintai dan keinginan untuk tidak berjumpa dengan mereka yang tidak disukai. Kesunyataan kedua menganalisa bahwa ketidakpuasan tersebut disebabkan oleh keinginan. Semakin kuat keinginan, semakin kuat pula ketidakpuasan yang dialami. Sebaliknya, semakin lemah keinginan, semakin lemah pula ketidakpuasan yang timbul dalam batin seseorang. Kesunyataan ketiga memberikan penalaran bahwa terkendalinya keinginan akan menyebabkan hilangnya ketidakpuasan sehingga seseorang mencapai Nibbana. Dan, kesunyataan keempat memberikan cara atau satu jalan yang memiliki delapan unsur untuk mengendalikan keinginan serta melenyapkan ketidakpuasan. Agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas, maka masing-masing kesunyataan mulia ini akan sepintas dibahas secara umum.

Kesunyataan Mulia yang pertama menyebutkan bahwa hidup berisikan ketidakpuasan. Ketidakpuasan ini muncul karena dalam kehidupan selalu terkondisi untuk berpisah dengan segala hal yang dicinta dan bertemu dengan segala hal yang tidak disuka. Maksud dari segala hal yang dicinta dan tidak disuka ini dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian, pengertian tersebut dapat meliputi orang, benda, suasana dsb. Misalnya, seseorang pada mulanya bisa saja duduk bersila di lantai dengan nyaman, namun pada saat berikutnya ia mungkin merasakan kesemutan yang menyakitkan. Perasaan ini timbul karena ia telah berpisah dengan kondisi yang dicinta yaitu nyaman duduk bersila di lantai dan bertemu dengan kondisi yang tidak dicinta yaitu rasa sakit akibat kesemutan. Demikian pula dengan rasa tidak nyaman akibat lapar. Kondisi ini timbul akibat berpisah dengan yang dicinta yaitu rasa tidak lapar dan bertemu dengan kondisi yang tidak disuka yaitu rasa lapar. Jadi, kondisi bertemu dengan yang tidak disuka dan berpisah dengan yang disuka ini selalu muncul berbarengan bagaikan dua sisi tangan yang terlihat berbeda apabila dipandang dari dua arah. Namun, kedua perbedaan sudut pandang ini tetap saja melihat satu bagian yang sama yaitu telapak tangan.

Sang Buddha mengerti dengan jelas bahwa sumber ketidakpuasan yang dialami ini adalah dari keinginan yang tidak tercapai untuk selalu bertemu dengan yang dicinta dan tidak bertemu dengan yang tidak disuka. Oleh karena itu, Kesunyataan Mulia yang kedua menyebutkan bahwa keinginan adalah sumber ketidakpuasan. Semakin kuat keinginan seeorang untuk mempertahankan kondisi yang dicintai, maka semakin besar pula rasa ketidakpuasan yang ia alami. Demikian pula, semakin kuat penolakan terhadap pertemuan dengan kondisi yang tidak menyenangkan akan memperberat rasa ketidakpuasan yang timbul dalam batinnya. Dalam contoh di atas, semakin seseorang gelisah atas rasa kesemutan yang ia alami, maka semakin memuncak rasa ketidakpuasannya terhadap kondisi tubuhnya yang terbatas tersebut. Semakin seseorang menolak rasa lapar yang memang sudah timbul, semakin parah pula rasa lapar menyerangnya.

Oleh karena itu, pembabaran Sang Buddha selanjutnya adalah Kesunyataan Mulia yang ketiga bahwa ketidakpuasan dapat diatasi apabila keinginan dapat dikendalikan. Pengendalian keinginan ini dicapai dengan pemahaman bahwa hidup adalah proses yang berkesinambungan. Tidak ada kekekalan di alam semesta ini. Hanya ketidakkekalan itulah yang kekal. Dengan demikian, ada pertemuan pasti ada perpisahan. Ketika seseorang bertemu dengan kondisi nyaman duduk bersila di lantai, maka seiring dengan berjalannya waktu, ia pun pasti akan bertemu dengan kondisi tidak nyaman duduk di lantai yaitu kesemutan. Demikian pula ketika ia merasa nyaman ‘bertemu’ dengan rasa tidak lapar, maka suatu saat sesuai dengan berjalannya waktu, ia pasti akan ‘bertemu’ dengan rasa lapar. Segala bentuk keinginan yang menimbulkan ketidakpuasan tersebut akan dapat diatasi apabila seseorang mampu memahami ketidakkekalan ini.

Akhirnya, sebagai Kesunyataan Mulia yang Keempat, diuraikan Sang Buddha tentang Jalan Mulia Berunsur Delapan yang menjadi kunci pelaksanaan seseorang untuk dapat mengendalikan keinginannya. Pelaksanaan Jalan Mulia inilah yang seharusnya dikerjakan dengan tekun dan penuh semangat oleh para umat serta simpatisan Buddhis agar hidupnya mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan yang bisa diperoleh, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, adalah kebahagiaan duniawi, kemudian, kebahagiaan setelah meninggal dunia dengan terlahir di salah satu alam surga atau bahkan tentu saja kebahagiaan tertinggi yaitu terbebas dari kelahiran kembali yakni ketika seseorang mencapai Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha.

Dasar pelaksanaan Jalan Mulia Berunsur Delapan diawali dengan latihan kemoralan. Paling tidak, sebagai awal, terdapat lima latihan kemoralan yang dapat dilakukan yaitu upaya menghindari tindakan pembunuhan, pencurian, perjinahan, bohong dan mabuk-mabukan. Latihan mengendalikan diri terhadap lima perilaku tidak benar ini mengkondisikan seseorang untuk selalu menyadari segala tingkah laku badan dan ucapan yang sedang dikerjakan. Semakin sering seseorang mampu mengembangkan kesadaran atas tindakan serta ucapannya, maka ia pun semakin terkondisi untuk memperhatikan serta menyadari segala bentuk gerak gerik pikiran yang menjadi sumber tindakan badan maupun ucapan yang dilakukannya. Perhatian pada gerak gerik pikiran inilah yang akan mengkondisikan seseorang menyadari bahwa kenyataan hidup adalah saat ini. Secara bertahap dengan mempunyai kesadaran ini, seseorang akan semakin berkurang kemelekatannya pada masa lampau maupun masa depan. Masa lampau hanyalah tinggal kenangan sebagai bagian dari upaya pembelajaran untuk diperbaiki maupun ditingkatkan di masa sekarang. Sedangkan masa depan masih berupa rencana maupun impian yang harus segera dilaksanakan sedikit demi sedikit di masa sekarang. Dengan demikian, masa sekarang menjadi masa yang sangat penting sekali untuk selalu meningkatkan kualitas diri secara lahir maupun batin. Pemahaman yang kuat bahwa kenyataan hidup adalah saat ini menjadikan seseorang secara perlahan-lahan akan berkurang kemelekatannya. Batinnya menjadi tenang seimbang menghadapi segala perubahan yang dijumpainya. Bahkan, pada akhirnya ia mampu membebaskan diri dari kemelekatan sehingga batinnya pun terbebas dari ketamakan, kebencian serta kegelapan. Kegelapan batin yang dimaksudkan di sini adalah ketidaktahuan seseorang bahwa kenyataan hidup adalah tidak kekal dan hanya merupakan proses berkesinambungan. Dengan demikian, ia tidak lagi melekat dengan proses yang terus menerus berubah ini. Pengertian inilah yang membawa seseorang terbebas dari kelahiran kembali atau mencapai Nibbana yang tidak bisa diceritakan karena kemutlakannya. Sama sekali tidak bersyarat. Hanya saja, walaupun tidak bisa diceritakan, ternyata Nibbana mampu dicapai oleh mereka yang dengan sungguh-sungguh melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Demikianlah Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha yang tidak bisa diceritakan namun bisa dicapai dengan melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tentu saja akan timbul pertanyaan dalam diri para umat serta simpatisan Buddhis bahwa apabila Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha tidak memiliki konsep seperti pemahaman umum yang dikenal dalam masyarakat, lalu bagaimanakah umat Buddha seharusnya berdoa?

Banyak orang sering menyebutkan secara keliru bahwa umat Buddha melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah ‘sembahyang’ yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu ‘sembah’ berarti menghormat dan ‘hyang’ yaitu dewa. Dengan demikian, ‘sembahyang’ berarti menghormat, menyembah para dewa. Apabila ‘sembahyang’ diartikan seperti itu, maka umat Buddha sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat Buddha bukanlah umat yang menghormat maupun menyembah para dewa. Umat Buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga, namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat Buddha juga tidak ‘berdoa’ karena istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang berdoa. Umat Buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca Sang Buddha maupun kepada fihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat Buddha bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca Sang Buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut ‘sembahyang’ maupun ‘doa’, umat Buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan ‘puja bakti’. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata ‘puja’ yang bermakna menghormat dan ‘bakti’ yang lebih diartikan sebagai melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam melakukan puja bakti, umat Buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman Sang Buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang Sang Buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena Sang Buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.

Karena bersujud di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati.

Setelah memasuki ruangan dan bersujud, umat Buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah Sang Buddha. Diharapkan dengan pengulangan kotbah Sang Buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi uraian Dhamma Sang Buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal Dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah Sang Buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan, ucapan maupun pola pikirnya.

Salah satu contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca Karaniyametta Sutta di vihara. Sutta atau kotbah Sang Buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa jangan karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya.

Itulah makna sesungguhnya dari pengertian ‘puja bakti’ yaitu menghormat dan melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Sekali lagi, umat Buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat Buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya dsb. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat Buddha agar keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai?

Untuk mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat Buddha disarankan untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat kebaikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan. Upaya mengarahkan buah kebajikan ini secara tradisi biasanya dilakukan dalam tiga tahap. Seperti halnya menulis surat tentu membutuhkan kalimat pembuka sebelum mengutarakan maksud atau isi yang sesungguhnya sebelum ditutup dengan kalimat penutup. Demikian pula kalau mendatangi rumah seseorang, maka biasanya diawali dengan pembicaraan yang santai, ramah dan penuh persaudaraan sebelum membahas masalah yang sesungguhnya. Setelah itu, barulah acara ramah tamah ditutup kembali dengan hal yang ringan sebelum berpamitan pulang. Demikian pula ketika umat Buddha menyampaikan keinginan ataupun harapannya dalam upacara ritual Buddhis. Pada mulanya dibuka dengan mengingat Ajaran Sang Buddha. Disebutkan ‘mengingat’ karena untuk membedakan dengan istilah ‘memuji’. Dalam ritual Buddhis, tidak dilakukan pujian kepada Sang Buddha karena tindakan tersebut tidak bermanfaat. Sang Buddha sudah tidak terlahirkan kembali. Dengan demikian, pujian tidak lagi memberikan pengaruh kepada Beliau. Oleh karena itu, ingatan pada kotbah atau Ajaran Sang Buddha dirumuskan sebagai, “Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan dituai. Menanam kebajikan akan tumbuh kebahagiaan.” Perenungan atau ingatan ini berhubungan dengan Hukum Sebab dan Akibat atau lebih dikenal dengan Hukum Kamma. Setelah dibuka dengan perenungan, selanjutnya diungkapkan harapan atau keinginan yang dimiliki dengan menyebutkan, “Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai saat ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk…… “ yang dapat diisi, misalnya : banyak rejeki, panjang umur, sehat kuat dan bersemangat, serta masih banyak lagi isian sesuai dengan keinginan yang dimiliki.

Dengan diawali perenungan pada hukum sebab dan akibat, maka seseorang akan lebih menyadari bahwa apabila ia menginginkan kebahagiaan, ia hendaknya melakukan kebajikan terlebih dahulu kepada fihak lain. Seperti halnya tanam padi akan panen padi, demikian pula apabila seseorang menanam kebajikan, ia pun akan memetik kebahagiaan. Jika ia menanam pelepasan mahluk dari penderitaan, maka ia pun akan terlepas dari berbagai kesulitan yang sedang dihadapi. Demikian seterusnya. Apabila telah cukup banyak kebajikan yang dilakukan, maka tentu kebahagiaan seperti yang diharap pun akan dapat terwujud. Kalaupun masih ada keinginan yang belum terwujud, ia akan selalu bersemangat untuk melakukan kebajikan karena ia telah menyadari bahwa semua kebajikan yang ia lakukan tidak akan pernah hilang begitu saja.

Apabila ungkapan permintaan itu telah dibuka dan didahului dengan perenungan pada Hukum Kamma atau Hukum Sebab dan Akibat, maka sebagai penutup umat Buddha dapat mengucapkan berkali-kali kalimat, “Semoga semua mahluk berbahagia’ yang artinya, ia sendiri adalah mahluk, semoga ia bahagia dengan tercapai segala harapannya. Keluarganya juga mahluk, semoga keluarganya bahagia sesuai dengan kondisi kamma mereka masing-masing. Bahkan, musuh-musuhnya pun adalah mahluk, semoga mereka semua berbahagia sesuai dengan keinginan yang mereka miliki. Dengan mengucapkan kalimat penutup seperti ini, maka umat Buddha diarahkan untuk mengingat kebahagiaan fihak lain selain diri sendiri. Kebahagiaan kepada fihak lain ini diwujudkan dengan memancarkan pikiran cinta kasih kepada semua mahluk, bahkan kepada para musuhnya. Sesungguhnya, dengan seseorang mampu mengharapkan semua mahluk berbahagia, maka dirinya sendiri pun akan mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan harapan yang telah dimiliki selama ini.

Jadi, secara lengkap, rumusan ungkapan permintaan ataupun ‘doa’ dalam tradisi Buddhis ini terdiri tiga tahap seperti yang telah diuraikan di atas yaitu: “ Sesuai dengan benih yang ditabur demikian pula buah yang dituainya, menanam kebajikan maka akan memperoleh kebahagiaan. Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai saat ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk ….. (diisi: panjang umur, sehat, sukses dsb.). Semoga semua mahluk berbahagia.” Dengan rumusan ‘doa’ seperti ini, umat Buddha akan selalu bersemangat untuk mengembangkan kebajikan melalui badan, ucapan dan juga pikiran karena ia sadar bahwa kebahagiaan akan dapat dirasakan melalui upaya kebajikan yang ia kerjakan. Ia tidak akan pernah menyalahkan fihak lain atas penderitaan yang ia alami. Sebaliknya, ia pun tidak akan menganggap ada fihak lain yang membuatnya bahagia. Suka duka adalah bagian dari buah perbuatan yang ia lakukan selama ini. Ia akan selalu bersemangat untuk melaksanakan lima latihan kemoralan yaitu berusaha tidak melakukan pembunuhan, pencurian, perjinahan, bohong maupun mabuk-mabukan. Ia juga akan tekun melaksanakan latihan pengembangan kesadaran atau meditasi. Dengan demikian, ia akan selalu sadar pada saat ia sedang bertindak, berbicara maupun berpikir. Kesadaran yang penuh akan hidup saat ini akan mengkondisikan seseorang mencapai kebebasan dari ketamakan, kebencian serta kegelapan batin. Pada tingkat inilah seseorang disebut mencapai Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha. Jadi, pencapaian Tuhan atau Nibbana ini tidak harus dialami ketika seseorang telah meninggal, namun juga bisa dalam kehidupan ini juga. Sekarang juga.

Sebagai kesimpulan, sudah jelas sekarang bahwa tujuan hidup seorang umat Buddha adalah untuk mencapai kebahagiaan. Dalam Dhamma disebutkan adanya tiga tujuan hidup yaitu berbahagia di dunia ini, berbahagia setelah kehidupan ini yaitu mencapai alam surga atau alam bahagia lainnya. Kemudian, sebagai tujuan hidup yang tertinggi adalah kebahagiaan Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa. Tentu saja, Nibbana bukan surga atau alam, namun terbebas dari kelahiran kembali yang dapat dicapai dalam kehidupan ini juga. Agar seseorang dapat mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu Nibbana, maka ia hendaknya selalu berusaha melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan secara terus menerus. Adapun Jalan Mulia Berunsur Delapan itu adalah Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Dengan melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan ini seseorang paling tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup ini. Dan, apabila timbul keinginan atau harapan, maka ia dapat mengucapkan tekad yang terdiri dari tiga bagian yaitu pembuka, isi serta penutup seperti yang telah diuraikan di atas.

Cara mengungkapkan harapan atau keinginan dalam tiga bagian tersebut dapat dipergunakan dimanapun seseorang berada tanpa menimbulkan pertentangan maupun permusuhan dengan fihak lain. Cara tersebut dapat dipergunakan di berbagai tempat ibadah Buddhis maupun bukan.

Inilah yang perlu disampaikan pada kesempatan ini. Semoga uraian Dhamma ini akan memberikan manfaat serta kebahagiaan untuk para umat dan simpatisan Buddhis.

Semoga Anda semua berbahagia.

Semoga semua mahluk selalu berbahagia.

Semoga demikianlah adanya.

TANYA JAWAB:

Tanya 01 :

Apakah dalam Agama Buddha ada surga dan neraka, seperti dalam agama lain?

Jawab :

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa terdapat tiga tujuan hidup seorang umat Buddha yaitu bahagia di dunia, kemudian, bahagia setelah kehidupan ini yaitu terlahir di alam surga dan juga bahagia karena terbebas dari kelahiran kembali ketika seseorang telah mencapai Nibbana. Dengan demikian, dalam Agama Buddha pasti ada surga maupun neraka. Bahkan, surga dalam Agama Buddha lebih dari satu tingkat. Banyaknya jenis alam surga ini karena tingkat kebajikan yang dilakukan seseorang tidaklah sama dengan kebajikan yang dilakukan oleh orang lain. Jadi, mereka yang lebih banyak melakukan kebajikan akan terlahir di surga yang lebih tinggi dan lebih lama daripada mereka yang kurang kebajikannya. Hal ini hampir sama dengan orang yang mempunyai uang lebih banyak tentunya akan mempunyai kesempatan membeli kendaraan lebih banyak pula daripada mereka yang mempunyai uang lebih sedikit. Kendaraan yang mampu dibeli juga berbeda fasilitasnya. Semakin kaya seseorang, tentu semakin bagus pula fasilitas kendaraan yang dapat ia peroleh. Jadi, para prinsipnya, perbanyak kebajikan dengan badan, ucapan serta pikiran maka seseorang akan terlahir di surga yang lebih baik daripada mereka yang kurang kebajikannya.

Sebaliknya, selain alam surga sebagai buah kebajikan yang dilakukan seseorang semasa hidupnya, maka tentu terdapat pula alam menderita atau alam neraka yang merupakan buah perilaku buruk yang pernah dijalani selama hidup yang sebelumnya. Alam neraka juga mempunyai banyak tingkat. Dengan demikian, semakin jahat perilaku seseorang, semakin buruk pula kondisi neraka yang ia jumpai. Hal ini sama dengan penjahat yang melakukan banyak kejahatan akan mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada penjahat yang bentuk kejahatannya tidak terlalu berat.

Tanya 02 :

Setelah manusia meninggal masih adakah surga atau neraka yang kekal? Bagaimana kita bisa tahu jalan menuju ke surga / Nibbana? Apa yang dijadikan patokan bahwa jalan kita yang dilewati itu benar?

Jawab :

Dalam pengertian Buddhis, seseorang yang meninggal akan segera terlahir kembali di alam surga atau neraka sesuai dengan buah kamma yang ia miliki. Mereka yang mempunyai banyak kamma baik akan terlahir di surga atau alam bahagia. Mereka yang banyak mempunyai kamma buruk akan terlahir di alam menderita, termasuk alam neraka. Namun, alam surga maupun neraka dalam Dhamma disebutkan tidak kekal. Oleh karena itu, ketika buah kamma yang mendukung kelahiran di suatu alam telah habis, maka mahluk itu akan meninggal dari alam tersebut untuk terlahir kembali di alam yang sesuai.

Dan, untuk mengetahui jalan ke surga maupun Nibbana, dalam uraian di atas sudah dijelaskan bahwa Ajaran Sang Buddha memberikan bukti dengan menguraikan cara-cara untuk mencapai kebahagiaan di dunia. Pada pokoknya disebutkan bahwa segala suka dan duka hanyalah akibat permainan pikiran sendiri. Pikiran akan bahagia ketika keinginan tercapai, sebaliknya pikiran menderita ketika keinginan tidak tercapai. Dengan memahami kenyataan ini, seseorang hendaknya melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan agar ia mampu mengendalikan keinginan. Kemampuan untuk mengendalikan keinginan inilah yang akan menimbulkan kebahagiaan dalam batin seseorang. Kebahagiaan dalam batin ini juga akan mengkondisikan kebahagiaan di lingkungannya. Kebahagiaan di lingkungan akan mampu mewujudkan kebahagiaan di dunia. Setelah seseorang mampu membuktikan kebenaran Ajaran Sang Buddha untuk mencapai kebahagiaan di dunia, maka ia tentunya akan lebih yakin bahwa Dhamma Ajaran Sang Buddha mampu juga memberikan jalan hidup bahagia dengan terlahir di alam surga. Ia juga akan yakin bahwa pelaksanaan Buddha Dhamma akan mengkondisikan seseorang mencapai kesucian atau Nibbana dalam kehidupan ini juga. Jadi, kunci keyakinan pada Buddha Dhamma adalah kesempatan untuk membuktikan terlebih dahulu kebenaran Dhamma dalam kehidupan ini juga.

Tanya 03 :

Apakah Agama Buddha percaya adanya malaikat dan hantu?

Jawab :

Malaikat atau lebih dikenal dalam istilah Buddhis sebagai dewa dan dewi adalah para penghuni surga. Sedangkan hantu adalah mahluk halus dalam Agama Buddha disebutkan ada beberapa jenis. Ada mahluk yang disebut sebagai setan kelaparan, ada juga yang disebut setan raksasa maupun berbagai jenis lainnya. Oleh karena itu, sudah jelas bahwa Agama Buddha mengakui keberadaan para dewa dan dewi serta para mahluk halus. Meskipun demikian, umat Buddha sama sekali tidak dianjurkan untuk meminta maupun memuja mereka. Umat Buddha hanya mengetahui saja bahwa mereka adalah bagian dari para mahluk yang terlahir di berbagai alam kelahiran.

Tanya 04 :

Apakah Agama Buddha terdapat manusia pertama?

Jawab :

Sebenarnya tujuan Dhamma Ajaran Sang Buddha lebih cenderung dipergunakan untuk mengendalikan pikiran, ucapan dan perbuatan. Dan, kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri ini sama sekali tidak ada hubungan langsung dengan pengetahuan tentang manusia pertama. Tanpa mengetahui manusia pertama sekalipun, seseorang bisa saja mencapai kesucian. Namun, dalam salah satu kesempatan, kepada mereka yang telah mempunyai kemampuan batin dari latihan meditasi yang tekun sehingga mampu mengingat berkali-kali muncul dan kiamatnya bumi, barulah Sang Buddha menceritakan terjadinya manusia pertama. Cerita Sang Buddha hanya kepada mereka yang mampu mengingat terbentuk dan kiamatnya bumi ini agar ada orang yang bisa menyaksikan serta mengingat sendiri peristiwa yang disampaikan Sang Buddha. Tentu saja, sikap Sang Buddha ini berhubungan dengan pengertian dasar dalam Dhamma yaitu ‘datang dan buktikan’, bukan ‘datang dan percaya saja’.

Dalam kisah yang disampaikan oleh Sang Buddha, manusia pertama bukan hanya satu atau dua orang saja, melainkan banyak. Mereka bukan hasil ciptaan. Mereka merupakan hasil sebuah proses panjang bersamaan dengan proses terjadinya bumi beserta planet-planetnya. Seperti diketahui bahwa dalam pengertian Dhamma, tata surya seperti yang dihuni manusia saat ini bukan hanya satu melainkan lebih dari satu milyar jumlahnya. Masing-masing tata surya ketika kiamat akan terbentuk lagi. Pada saat terjadinya bumi ini, datanglah mahluk-mahluk berupa cahaya dari tata surya yang lain. Mereka berproses bersamaan dengan proses pembentukan tata surya ini. Dalam proses tersebut mereka tertarik mencicipi dan mengkonsumsi sari bumi, sari tumbuhan dsb. Ketertarikan mereka menyebabkan tubuh cahaya menjadi redup dan mulai terjadilah proses pembentukan tubuh, jenis kelamin, persilangan serta keturunan. Dan, sekali lagi, manusia pertama karena merupakan hasil proses seperti ini, jumlahnya tidak bisa ditentukan lagi. Sangat banyak. Mereka berproses dan berevolusi secara lambat sampai membentuk manusia sekarang. Hanya saja, dalam Dhamma juga tidak membenarkan maupun menolak pandangan ilmu pengetahuan modern bahwa manusia berasal dari monyet. Sikap ini sehubungan dengan kepastian bahwa asal manusia dari monyet ataupun bukan sama sekali tidak ada kaitan dengan keberhasilan seseorang untuk mencapai kesucian ataupun Nibbana.

Tanya 05 :

Alam manusia di dalam Agama Buddha dikatakan sebagai alam yang paling baik untuk mencapai kesempurnaan. Kenapa demikian?

Jawab :

Dalam pandangan Dhamma, hidup sebagai manusia mempunyai kesempatan lebih besar untuk menyaksikan ketidakkekalan. Manusia mudah bertemu dengan yang tidak disuka dan berpisah dengan yang disuka. Kejelasan akan ketidakkekalan ini mempermudah manusia untuk membuktikan kebenaran Kesunyataan Mulia yang pertama yaitu hidup berisikan ketidakpuasan. Dengan menyadari Kesunyataan Mulia yang pertama, maka manusia akan mampu merenungkan bahwa segala sumber ketidakpuasan adalah keinginan. Dengan demikian, timbul dalam batinnya semangat untuk melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai Jalan mengatasi ketidakpuasan. Pelaksanakan Jalan Mulia inilah yang akan dapat membebaskan manusia dari kemelekatan sehingga ia dapat mencapai Nibbana atau konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha. Kemungkinan besar manusia mencapai kesucian dalam kehidupan inilah yang mendasari pengertian bahwa terlahir sebagai manusia adalah sebuah kondisi yang ideal untuk mencapai kesempurnaan.

Sedangkan di berbagai alam surga maupun alam menderita karena jangka waktu bahagia dan menderita berlangsung sangat lama maka para mahluk di sana tidak mampu melihat ketidakkekalan. Mereka sulit menyadari adanya perubahan. Dengan demikian, merekapun sulit untuk memahami Empat Kesunyataan Mulia dan mencapai kesucian di alam surga maupun alam menderita.

Tanya 06 :

Saya setuju bahwa Nirwana bisa dijumpai dalam kehidupan sekarang. Apakah mungkin bila tidak bertemu sekarang, orang tidak akan mencapai Nirwana?

Jawab :

Nirvana atau Nibbana memang tidak harus dicapai dalam satu kehidupan ini. Kalaupun seseorang masih belum mampu mencapainya dalam kehidupan ini, ia hendaknya terus menerus melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan, sehingga dalam satu masa kehidupan yang akan datang, ia mungkin baru akan mencapainya. Namun, sebelum mencapai Nibbana, seseorang yang terus melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan dengan tekun pasti akan mendapatkan kebahagiaan di dunia ini maupun kebahagiaan setelah kehidupan ini yaitu terlahir di alam bahagia. Jadi, bagaimanapun juga, pelaksanaan Jalan Mulia Berunsur Delapan selalu memberikan manfaat dalam kehidupan ini maupun kehidupan yang selanjutnya sampai seseorang mencapai kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana.

Tanya 07 :

Nasib, apakah ada dan bagaimana cara menanggulangi, kiat mengatasi nasib?

Jawab :

Dalam pengertian Dhamma tidak dijumpai istilah nasib, kodrat maupun takdir. Dalam Agama Buddha lebih dikenal istilah ‘kamma’ (Bhs. Pali) atau ‘karma’ (Bhs. Sanskerta). Dengan mengenal berlakunya Hukum Kamma yang juga sering diartikan sebagai Hukum Sebab dan Akibat, perjalanan hidup seseorang dapat diubah. Dasar pengertian Hukum Kamma adalah mereka yang melakukan kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian, semakin banyak seseorang melakukan kebajikan, semakin besar pula kemungkinan dia untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan ini pula. Dengan demikian, seseorang yang ingin hidup berbahagia, ia harus memperbanyak kebajikan dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Sedangkan, mereka yang telah hidup berbahagia, ia hendaknya tidak pernah bosan untuk terus menambah kebajikan agar hidupnya semakin berbahagia.

Sebagai contoh bahwa perjalanan hidup seseorang dapat diubah melalui perbuatan (kamma) yang harus ia kerjakan saat ini adalah kisah tentang seseorang yang dilahirkan dalam kondisi menderita akibat kekurangan materi. Apabila ia dalam hidupnya mampu selalu memperbanyak kebajikan, maka kondisi penderitaan yang dialami mungkin saja berubah 180 derajad. Berubah total. Mungkin dengan berbagai kebajikan dan kejujuran yang telah dilakukan akan mengkondisikan ia mudah mencari kerja dan mendapatkan kepercayaan. Dengan demikian, dalam waktu singkat, perjalanan hidupnya dapat berubah total. Mungkin saja, ia menjadi orang yang lebih mampu daripada sebelumnya. Mungkin ia bahkan mampu mengajak orangtuanya hidup bersama dengannya.

Sebaliknya, mereka yang terlahir dalam kondisi kecukupan secara materi misalnya, apabila tindakan yang ia lakukan tidak baik yaitu dengan melakukan pelanggaran lima latihan kemoralan, maka hidupnya mungkin akan berubah total. Ia menjadi orang yang tidak disukai lingkungannya. Ia menjadi orang yang tidak bahagia. Dengan demikian, sudah jelas sekarang bahwa perbuatan seseorang atau kamma sangatlah berperanan untuk mengkondisikan hidup seseorang menjadi bahagia atau bahkan lebih bahagia serta mampu menghindari penderitaan.

Tanya 08 :

Kalau kita berbuat baik berdasarkan pamrih apakah itu juga akan ada karma baiknya?

Jawab :

Dalam kenyataan, setiap orang yang belum mencapai kesucian atau terbebas dari ketamakan, kebencian serta kegelapan batin pasti ia akan melakukan suatu perbuatan dengan pamrih. Memiliki pamrih selama tidak dibarengi dengan kemelekatan, kiranya masih dapat dianggap wajar. Oleh karena itu, dalam rumusan doa di atas disebutkan niat ”Semoga dengan kebajikan yang saya lakukan sampai saat ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk ….” Sepintas ‘doa’ ini memang tampak berpamrih, namun, sebenarnya rumusan doa ini dipergunakan untuk mengarahkan para umat dan simpatisan Buddhis yang masih dalam tahap awal agar mereka berkenan melaksanakan kebajikan secara lebih terarah. Sedikit demi sedikit, apabila batinnya mulai meningkat dengan pengertian Dhamma, maka ia pun akan bisa diarahkan untuk mencapai kesucian atau Nibbana. Dalam tahap akhir seperti ini, semua tindakan yang dilakukan tidak akan lagi mengharapkan pamrih. Semua tindakan dilakukan demi tindakan itu sendiri. Kondisi ini seperti bunga yang mekar demi mekarnya sendiri, bukan karena ingin diletakkan di tempat yang bagus atau menghindari tempat yang buruk.

Adapun perbuatan yang berpamrih, sejauh masih dapat digolongkan sebagai perbuatan baik yang mampu memberikan kebahagiaan untuk banyak fihak, maka si pelaku masih tetap dianggap menanam kamma baik yang pada suatu saat nanti akan ia rasakan buah kebahagiaannya.

Tanya 09 :

Dalam kenyataan hidup, kita selalu merasa kurang. Punya uang puluhan milyar, juga masih kurang. Karena hidup ini tidak kekal, contohnya, kalau kalah dagang atau bangkrut, belum tentu besok ada teman kita yang mau menolong. Dalam hal ini mohon pengertian, sehingga kita merasa cukup.

Jawab :

Pengertian ‘cukup’ memang bersifat sangat relatif. Oleh karena itu dalam Dhamma sebagai ukuran minimal atau paling rendah adalah kecukupan yang dialami oleh para bhikkhu. Para bhikkhu sudah cukup dengan terpenuhinya kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal maupun sarana kesehatan. Makanan para bhikkhu cukup sehari sekali atau dua kali saja sebelum tengah hari. Pakaian cukup dengan satu set jubah. Tempat tinggal cukup apabila sudah dapat membaringkan tubuh di goa maupun di gubuk. Sarana kesehatan dengan menggunakan therapi urine sudah cukup. Jadi, apabila seseorang telah mampu menyediakan sedikit lebih dari keperluan minimal seorang bhikkhu, maka ia sesungguhnya bisa disebut cukup. Namun, kalau sampai menyediakan secara berlebihan masih terasa tidak cukup, hal itu lebih disebabkan karena adanya ketamakan. Demikian pula dengan uang yang puluhan milyar, jika ia tidak mampu mengendalikan diri dari keinginan, maka sesungguhnya ia sudah terjebak dalam ketamakan.

Kalau seseorang kuatir gagal dalam usaha dan tidak ada yang menolong, maka ia harus berusaha mandiri secara ekonomi dengan menyimpan hartanya di tempat yang sesuai. Dengan demikian, ketika ia bangkrut dan tidak ada yang menolong, ia masih bisa menolong dirinya sendiri. Besarnya simpanan yang diperlukan tentu berdasarkan kebijaksanaan, bukan karena ketamakan. Menentukan beda kebijaksanaan dan ketamakan kiranya membutuhkan kesadaran tinggi yang tidak bisa ditentukan oleh orang lain. Dalam Dhamma, semua ini bukanlah keharusan. Memiliki uang sedikit bisa disebut cukup, memiliki uang puluhan milyar bisa merasa tidak cukup. Semuanya berpulang pada kebijaksanaan diri sendiri.

Tanya 10 :

Kalau kita sembahyang dengan saji-sajian misalnya makanan, minuman dan buah-buahan apakah betul itu diterima atau sebagai simbolis?

Jawab :

Sesajian yang dipersembahkan dalam upacara ritual Buddhis sesungguhnya lebih bersifat tradisi dan simbolis. Kebiasaan mempersembahkan makanan di altar Sang Buddha dimulai sejak Sang Buddha wafat. Para murid yang sudah berpuluh tahun membantu Sang Buddha mempersiapkan makanan, ketika Sang Buddha wafat mereka masih juga mempersiapkan makanan yang disajikan serta dibereskan pada waktu-waktu tertentu setiap harinya. Kebiasaan ini berlangsung turun temurun sehingga akhirnya sampai sekarang masih banyak orang yang mempersembahkan makanan, minuman maupun buah-buahan di altar Sang Buddha maupun altar yang lain.

Persembahan makanan, buah dsb di altar lebih ditujukan untuk melakukan penghormatan. Selain itu, persembahan juga mempunyai makna simbolis atau lambang bahwa seseorang yang telah mampu memberikan buah atau makanan yang terbaik di altar, hendaknya ia juga mampu memberikan pikiran, ucapan serta perbuatan yang terbaik kepada lingkungannya agar memberikan kebahagiaan serta kedamaian bagi semua fihak.

Tanya 11 :

Apakah karma seseorang bisa diketahui dan bagaimana ciri-cirinya?

Jawab :

Dalam tradisi yang berkembang di masyarakat Buddhis, kamma bisa saja dikenali dari wujud luar seseorang. Hal ini juga disebutkan dalam salah satu syair Dhamma bahwa setiap orang dilahirkan oleh kamma sendiri, dilindungi oleh kamma sendiri. Jadi, bentuk lahir seseorang adalah bagian dari kamma yang harus dijalani. Oleh karena itu, dalam masyarakat dapat dijumpai orang yang mampu, misalnya, membaca garis tangan untuk menyebutkan masa lalu maupun masa depan seseorang. Kemampuan ini disebabkan karena garis tangan juga merupakan salah satu tanda bawaan kamma lampau. Tentu saja, metoda membaca garis tangan yang merupakan salah satu upaya mengetahui kamma seseorang ini bukan berasal dari Ajaran Sang Buddha melainkan bagian dari tradisi suatu masyarakat. Sesungguhnya masih banyak cara yang bisa dipergunakan untuk mengetahui kamma seseorang, namun, satu contoh ini kiranya sudah dapat mewakili jawaban atas pertanyaan ini.

Tanya 12 :

Sekarang tentang meditasi. Apakah ada kemungkinan dan bagaimana melatih Samatha Bhavana sebagai umat biasa?

Jawab :

Dalam kehidupan sebagai umat Buddha, sangat disarankan umat untuk berlatih meditasi secara rutin. Lakukan meditasi setiap pagi bangun tidur dan malam hendak tidur. Lakukan meditasi paling tidak selama 15 menit sampai dengan 30 menit setiap kalinya. Adapun meditasi yang dapat dilakukan, sebagai dasar adalah meditasi konsentrasi yang sering disebut sebagai Samatha Bhavana. Latihan meditasi ini biasanya mempergunakan pengamatan dan perhatian pada proses masuk keluarnya pernafasan yang berlangsung secara alamiah. Jadi, meditasi tidak perlu mengatur pernafasan. Meditasi hanya mengamati dan mengetahui saat nafas masuk dan saat nafas keluar. Jika pikiran memikirkan hal yang lain, maka pelaku meditasi akan terus berusaha untuk mengembalikan konsentrasi pikiran pada pengamatan proses pernafasan kembali. Demikian seterusnya dilakukan sampai pikiran benar-benar terpusat pada obyek meditasi. Apabila seseorang telah mampu memusatkan perhatian pada obyek meditasi, maka ia bisa melanjutkan tingkat latihan meditasi yang telah dicapainya dengan mengembangkan kesadaran pada segala gerak gerik pikiran, perasaan, maupun badan. Artinya, pelaku meditasi menjadikan segala yang terjadi pada badan maupun batin sebagai obyek meditasi. Meditasi mengembangkan kesadaran ini disebut sebagai Vipassana Bhavana.

Kedua latihan meditasi ini hendaknya sering dilatih para umat Buddha agar semakin lama seseorang mengikuti dan melaksanakan Ajaran Sang Buddha, semakin tinggi pula kesadaran yang ia miliki untuk selalu mengamati gerak gerik badan dan batinnya. Kesadaran yang maksimal tentang badan dan batin ini akan menuju pada tercapainya kesucian yaitu Nibbana dalam kehidupan ini juga.

Tanya 13 :

Bagaimana cara menghindari pengaruh roh halus, setan dalam bermeditasi ?

Jawab :

Dalam bermeditasi, pada awalnya seseorang hendaknya selalu berusaha memusatkan perhatian pada obyek konsentrasi, misalnya proses masuk dan keluarnya pernafasan. Dengan demikian, apabila terjadi ‘penampakan’, pelaku meditasi hendaknya tidak menghiraukannya. Ia harus tetap memusatkan perhatian pada obyek meditasi. Dengan mampu memusatkan pikiran pada obyek, maka secara bertahap segala bentuk penampakan dan gangguan akan lenyap dengan sendirinya.

Namun, pelaku meditasi tahap lanjutan boleh mempergunakan kesadaran penuh untuk mengetahui dan mengamati adanya gangguan mahluk halus. Pelaku meditasi hanya mengetahui saja segala penampakan yang ada tanpa harus timbul rasa takut maupun benci. Dengan pengembangan kesadaran yang tinggi, mahluk halus itupun akhirnya akan lenyap dan tidak mengganggu lagi.

Namun, kalau pelaku meditasi masih belum mempunyai konsentrasi maupun kesadaran yang cukup tinggi, maka ia boleh juga mengucapkan berkali-kali dalam batin kalimat ”Semoga semua mahluk berbahagia”. Kalimat ini adalah merupakan kalimat pemancaran pikiran penuh cinta kasih yang merupakan sarana ampuh untuk mengkondisikan agar para mahluk halus itu tidak mengganggu lagi. Dengan demikian, latihan meditasi dapat dilanjutkan dengan pikiran tenang dan damai, bebas dari berbagai ‘penampakan’.

Demikianlah semua pertanyaan sudah terjawab secara singkat.

Semoga uraian Dhamma tentang konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha dan juga jawaban atas berbagai pertanyaan di atas dapat bermanfaat serta menambah keyakinan Anda pada Ajaran Sang Buddha.

Semoga keyakinan Anda akan menjadi pendorong untuk selalu melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercapailah kebahagiaan di dunia, kemudian, kebahagiaan setelah kehidupan ini dan bahkan kebahagiaan Nibbana.

Semoga Anda selalu berbahagia.

Semoga semua mahluk yang tampak maupun mahluk yang tidak tampak akan mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan kamma baik yang mereka miliki sendiri.

Semoga demikianlah adanya.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.